14 Desember 2011

Gerimis 2

Sayup, kudengar itu
Tetesan tetesan yang menyerupai sebuah denting mengalun
Di atas sana, di luar sana
Kusimak irama merdunya
Kuhirup aroma sejuknya


Seharusnya ada bait-bait berikutnya, namun aku nggak pernah punya kalimat seteguh para pujangga, atau seindah kata-kata para sastrawan. Hanya ini yang bisa kutuang dari otakku. Tidak apa-apa, yang penting asli karyaku. Bukan jiplakan karya orang lain.



23 November 2011

Gosip abu-abu ( 2) : Ada cinta di Bromo


Berita itu kembali menyeruak. Gosip abu-abu Davina dan Arik kembali berhembus. Bagai asap yang menyelubungi udara kampus dan menggelitik telinga siapa saja yang mendengarnya. "Ternyata antara Davina dan Arik memang ada apa-apa. Ada sesuatu diantara mereka," begitu bunyi gosip heboh itu. Cerita punya cerita ternyata asal muasal asap pekat itu dari sebuah foto misterius yang terpampang di pameran foto 'arek-arek' pecinta alam yang digelar selama seminggu ini di dekat pelataran kampus.

Sebuah foto dengan latar belakang pemandangan indah kawah Bromo.  Ada yang menarik dari gambar itu begitu dicermati dengan seksama, Entah siapa yang memulai mengusik foto yang kesannya biasa-biasa saja itu. Banyak gambar pemandangan yang lebih indah dan menakjubkan di pameran yang diambil dalam  perjalanan di sebuah pendakian. Namun foto Bromo itu ada yang membuat penasaran dengan munculnya dua sosok di sana. Siapa mereka? Pertanyaan itu dalam beberapa hari sempat menggantung di alam pikiran beberapa anggota pecinta alam di sekretariat, terutama anggota-anggota senior.

Redi, cowok yang merasa memiliki hak milik foto itupun mengaku nggak mengenali dua manusia yang terambil di dalam fotonya.  Ia mengarahkan kameranya begitu saja waktu itu ke arah kawah dan juga baru menyadari ada dua sosok yang nampak di sana. Menurutnya kehadiran dua sosok yang sedang nampak bermesraan sambil menikmati pemandangan di hadapan mereka itu memunculkan nilai keromantisan tersendiri. Tidak perduli siapa. Bisa jadi dua orang itu  temannya, tapi mungkin juga orang lain yang juga tengah menikmati kasodo Bromo. Bukankah pengunjung dalam moment kasodo begitu berjubel?  Banyak orang datang dari berbagai tempat, bahkan turis dari luar negeri.

Sabrina dan Yessi baru datang ke lokasi

pameran dan mendengar obrolan seru cowok-cowok  di sana. Beberapa tangan nampak menunjuk sebuah gambar di dinding sambil terus berkomentar dan di sahuti serta ditimpali komentar yang lainnya. Kedua cewek tu tercengang melihat foto heboh itu kini sudah diperbesar, dan keadaannya tidak lagi telanjang, melainkan sudah diberi figura cantik. Posisi memajangnya tidak lagi di depan dan tergabung dengan sekumpulan gambar tentang suasana Bromo, namun sudah dipindah ke belakang karena alasan sedang dalam proses debat mengenai sosok yang muncul di sana.

"Aku kayaknya pernah lihat foto ini. Tapi di mana, ya?" ujar Yessi sambil berpikir. Dengan ukuran lebih besar dibanding sebelumnya yang berukuran post card, memori di dalam otaknya bekerja menggali sesuatu yang bertumpuk-tumpuk yang pernah terekam dalam kepalanya.

"Yes, kayaknya foto cewek ini lebih mirip kamu? Lihat rambutnya. Sama, sebahu. Badannya juga kecil kayak kamu. Jangan-jangan kamu yang ada di foto ini!" tuding Rudi, dengan menatap penuh curiga ke arah cewek mungil itu.

"Ngawur!" bantah Yessi langsung. "Kalau memang itu aku, aku sudah mengumumkannya dari sejak hari pertama pameran!"

"Kalau cowoknya kira-kira siapa, ya?" tanya Alba, si Ketua Umum.

"Iya, aku juga pernah melihat foto ini dengan seukuran seperti sekarang ini. Tapi di mana?" Sabrina juga melontarkan kalimat serupa dengan penasaran. Matanya tajam mengamati foto, yang menggambarkan wajah samar seorang cowok dengan posisi miring. Kelihatannya dia sedang tersenyum lebar. Atau tertawa sambil memandang dengan penuh mesra ke arah cewek di sebelahnya. Sementara si cewek agak memiringkan sedikit kepalanya. Dalam imajinasinya kedua makhluk bahagia itu tengah saling  memandang sambil mengumbar senyum mereka.

"Aku tahu. Aku tahu.!" seru Yessi keras tiba-tiba. Ia menutup mulutnya menyadari suaranya sempat membuat pengunjung menoleh ke arahnya. Sambil meraih pundak Sabrina, ia membisikkan sesuatu ke telinga sahabatnya itu, " Arik, Arik. Kamu ingat, kan, Davina juga punya foto ini di rumahnya?"

"Iya, aku pikir juga dia," gumamnya.

Keduanya mencari Davina dan menemukannya baru keluar dari kelas dengan wajah lesu serta muram. Yessi dan Sabrina langsung membawanya ke kantin. Cewek imut berkulit seputih susu itu sungguh, awalnya banyak yang meragukan kesungguhannya masuk menjadi anggota pecinta alam. Dan kenyataannya memang demikianlah. Berbagai tahapan 'penyiksaan' kala diklat hingga pelantikan, tak ada sikap cengeng yang ditunjukkannya. Ia benar-benar seteguh karang.

"Vin, foto yang di Bromo itu foto kamu sama Arik? " tanya Yessi langsung. Tak sabar menunggu sampai bisa duduk enak di kursi kantin.

Mata bundar itu memandang ke arah keduanya secara bergantian. Meski sudah dalam posisi duduk, ia masih berusaha berpegangan pinggiran meja, seolah khawatir kursi yang didudukinya tak kuat menyangga berat tubuhnya. "Foto di Bromo? Iya. Aku sama Arik."Ia mengakuinya dengan tanpa ragu. Tanpa beban.

"Kamu juga punya foto itu di rumahmu." ujar Sabrina. 

Davina mengangguk sembari menyeruput gelas kopinya dengan penuh nikmat, sama sekali tidak terpengaruh seberapa jauh kedua kakak seniornya itu menginterogasinya. Di bagian belakang foto yang diberikan Arik kepadanya itu bertuliskan,"Selamat Ulang Tahun."

"Aku yakin Arik pasti punya foto itu juga di rumahnya," cetus Yessi dengan nada geregetan. "Kamu tahu apa artinya itu, kan, Vin? Artinya Arik itu suka sama kamu. Arik itu cinta sama kamu! Apa kamu nggak sadar perhatian Arik selama ini sama kamu?"

"Apa benar kamu nggak ada apa-apa sama Arik, Vin?" tegas Sabrina lebih lembut.

Davina hanya mengangkat dua jarinya ke dekat pelipisnya, seraya bersumpah. Seperti yang selalu diakuinya selama ini. Sejauh ini ia masih bisa menyembunyikannya dari siapapun. Arik pergi entah ke mana. Ia juga nggak pernah masuk kuliah. Usai acara pembukaan pameran empat hari yang lalu, Arik menanyakan perjodohannya dengan seseorang yang dia ketahui entah dari siapa.  Mungkin suatu ketika Arik bertemu dengan salah satu sahabatnya yang mengetahui perihal perjodohan itu. Ya, Davina memang dijodohkan dengan seseorang pilihan orang tuanya. Jadi bagaimana mungkin dia bisa menerima cinta Arik?

"Kalau saja kamu tahu, aku di sini adalah karena kamu. Aku bisa saja terbang ke negeri yang terjauh sekalipun. Tapi apa gunanya jika kau tak bersamaku? Aku mencintaimu. Melebihi apapun di dunia ini."

Pesan singkat dari Arik yang diterimanya kala perkuliahan berlangsung siang tadi seakan merobek-robek hatinya. Ia sungguh tidak menyangka berada dalam situasi sulit begitu. Ia menyayangi tunangannya, tapi di lain sisi, ia juga tak sanggup jika Arik meninggalkannya. Ia juga mencintai Arik? Entahlah, ia tidak begitu yakin  dengan perasaannya. Tapi ia benar-benar ingin menangis jika mengingat Arik bakal meninggalkannya.***

19 November 2011

Prasangka

Saskia pergi ke mall sepulang sekolah bersama dua orang temannya. Sambil berkicau dan bercanda ketiganya merasuk ke dalam gedung megah yang telah ramai oleh pengunjung. Namun tiba-tiba mata Saskia menangkap sesuatu di sebuah toko kue. Di dalam sana duduk seorang wanita dan lelaki yang layaknya sedang berkencan di siang bolong. Wanita itu mamanya. Ya, mamanya. Dan laki-laki itu entah siapa. Kakinya lemas seketika, namun hatinya panas, keras dan marah.

Mamanya selingkuh? Ia tidak ingin mempercayainya. Tapi matanya tak bisa mengaburkan pemandangan menjijikkan di hadapannya. Dan pikirannya tak bisa begitu saja menghapus slide berdurasi beberapa menit yang sempat ditangkapnya. Rina, temannya segera menyeretnya, mengajaknya menjelajah ke tempat deretan cardigan dengan model paling gress di sebuah gerai di lantai dua. Untung kedua temannya Rina dan Heidi tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Mereka juga tidak menyadari mama Saskia ada di tempat itu. Bersama seorang lelaki.

Kalau sampai mereka tahu, dan berita itu bocor di sekolah, entah apa yang bakal terjadi.  Kini ia kehilangan selera untuk melanjutkan jalan-jalan ke mall. Bahkan tawaran Heidi untuk makan es krim pun di tolaknya. Alasannya ia tiba-tiba pusing. Alasan lain yang dirasakannya yaitu merasa muak sampai pengin muntah, mengingat mamanya berada bersama seorang lelaki di bangku di dalam sebuah toko kue di lantai satu sana.

Ia pamit pulang segera setelah membantu Heidi memilihkan rompi cantik warna pink.. Rumahnya tak jauh dari mall. Tinggal jalan kaki sekitar sepuluh menit, sampai. Sedangkan dua temannya mesti naik angkot untuk sampai ke rumah mereka. Meski berat hati dua cewek itu merelakan Saskia pulang lebih dulu. Saskia kembali menyusuri tempat yang ia lewati bersama temannya di depan toko kue. Namun pemandangan di sana sudah berbeda. Tidak ada mamanya bersama laki-laki tadi. Yang ada kini seorang cewek ABG berseragam sekolah layaknya dirinya bersama cowok berseragam pula.

Sesampai di rumah, ia mendapati mamanya duduk di ruang makan dengan tangan memegang jarum jahit dan sebelah tangannya lagi memegang seragam sekolahnya. Saskia ingat kemarin ia mengadu tentang kancing baju seragamnya yang lepas. Seumur-umur belum pernah Saskia memegang jarum jahit.  Dari memasang kancing, menjahit yang robek, atau menambal yang bolong. Semua mama yang mengerjakan. Saskia mengurungkan niatnya untuk menanyai mamanya dan menginterogasi seputar laki-laki yang tadi bersamanya.

Keesokan harinya Saskia membawa papanya masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia tidak mau apa yang akan ia bicarakan dengan papanya terdengar oleh mamanya dan dua saudaranya yang kamarnya bersebelahan dengannya. Kemudian ia menceritakan pada papanya tentang mamanya yang dilihatnya kemarin di mal  bersama seorang laki-laki.

"Mungkin hanya teman," sahut papanya berusaha menghibur, meski beberapa saat tadi sempat terlihat tercengang mendengar penuturannya.

"Tapi mereka terlihat akrab dan mesra ,di tempat umum begitu, Pa. Aku lagi sama teman-temanku waktu datang ke mall. Bagaimana kalau teman-temanku tahu perbuatan Mama? Kan, aku akan malu sekali, Pa!" "
 
"Sayang, Papa mengenal Mamamu bahkan sejak dia seumuran kamu. Papa kenal banget siapa dan bagaimana Mamamu.. Nggak mungkin dia melakukan hal-hal negatif seperti perkiraanmu. Laki-laki itu pasti temannya. Nanti kita bahas lagi, ya? Papa ada rapat,nih!"

Saskia tahu papanya nggak akan mempercayai begitu saja omongannya. Papanya itu terlalu mencintai mamanya. Bahkan begitu memujanya. Ditatapnya wajah yang beranjak tua dengan halaian uban di sekitar kening hingga telinganya.  Ada setiti k rasa sesal menyembul di hati Saskia menyadari kemurungan yang perlahan meremangi wajah yang masih menampakkan sisa ketampanannya di waktu muda itu.

Di meja makan, semua berkumpul untuk sarapan. Mama nampak sibuk menyendokkan nasi ke piring-piring di atas meja. Sementara seorang pembantu menyodorkan gelas-gelas berisi air putih ke meja.

"Sayang, kemarin kamu pergi ke mana? Aku telpon ke rumah nggak ada yang ngangkat?" tanya Papa pada mamanya.
 
"Aku? Ke mana kemarin aku?" tanyanya seperti orang linglung."Oh, aku ke mal kemarin..."

"Ke mal? Bukannya listrik, telpon dan air sudah dibayar minggu lalu?" tanya Papanya dengan nada santai  dan sambil lalu tanpa terkesan mengiterogasi. Saskia duduk diam di kursinya. Diam-diam hatinya was-was. Takut ada sesuatu yang bakal  pecah di meja makan pagi itu.

Wanita itu duduk menghadap piringnya. Ia baru akan makan jika semua anggota keluarga sudah makan. "Sebenarnya aku iseng  ke mal. Tapi....Oh, iya, aku belum cerita. Semalam aku mau cerita, tapi  kulihat  kamu sudah capek pulang kantor. Kemarin aku ketemu temanku si Rudi. Ingat temanku si Rudi?"
 
"Temen apa, Ma? SMA?" tanya Bintang si ragil dengan antusias.

"Bukan, teman kuliah."

"Bekas pacar Mama?" celetuk Prima, kembaran Saskia sambil menyeringai.

"Bukan. Teman Mama." sahut Mama keras. "Ingat, kan, Mas? Dia mau datang ke sini nanti."

"Oya?"

"Mungkin hari Minggu besok. Kamu nggak ada acara ke mana-mana, kan, Mas?"

Papa terlihat menggeleng.

"Trus, ada temanku aku satu lagi. Cewek. Si Sabrina. Yang setengah bule? Ingat, kan? Dia juga mau datang ke sini."
 
"Yang cakep, tinggi semampai itu, kan?"

"Iya." Mata mamanya terlihat berbinar. "Tahu, nggak? Si Sabrina ternyata sekarang janda. Suaminya meninggal akibat kecelakaan.  Dan si Rudi, sudah bercerai dengan istrinya. Jadi, kemarin si Rudi minta tolong aku untuk mencomblangi dia sama si Sabrina." Mama tersenyum geli mengingat pertemuannya di Mal  kemarin itu. "Sebenarnya dari dulu aku selalu yakin bahwa Rudi itu suka sama Sabrina." Mata Mama terlihat menerawang. "Akhirnya setelah hampir dua puluh tahun...."

"Terus? Tapi.... ceritanya nanti sore saja, ya? Aku sudah hampir telat." 

Mama mengangguk, dan mendapati sang suami bangkit dari tempat duduk dengan tergesa-gesa. Mama ikut bangkit dan membuntuti papa hingga ke pintu depan. Ketika Papanya memberikan ciuman sayangnya ke Mama, wajah Papanya melengos mencari wajah Saskia. Anak gadisnya itu terlihat  diam termangu di kursinya.  ***