28 April 2011

SENANDUNG PUCUK - PUCUK PINUS

Lagu Cipt. Ebiet G. Ade

Bila kita tak segan mendaki
Lebih jauh lagi
Kita akan segera rasakan
Betapa bersahabatnya alam

Setiap sudut seperti menyapa
Bahkan teramat akrab
Seperti kita turut membangun
Seperti kita yang merencanakan

Pucuk-pucuk pinus seperti berebut
Bergesek berdesak berjalin tangan
Ranting kering luruh adalah nyanyian
Selaksa puisi bergayut di dahan
Leburlah di sini
Kini tinggal menunggu datang hembusan angin
Ohh, sempurnalah segalanya

Bila kita tak segan menyatu
Lebih erat lagi
Kita akan segera percaya
Betapa bersahajnya alam

Lumpur kering adalah pedoman
Untuk temukan jalan
Dan butir embun adalah lentera
Dalam segenapa kegelapan

25 April 2011

I I'VE BEEN AWAY TO LOONG

How can I say to you
I love somebody new
You were so good to me always
And when I see your eyes
I can't go on with lies
It breaks your heart
But I just can't hide, oh no

I, I've been away too long
Now I just can't go on
I've been away to loong
......



Lagu itu mengingatkanku saat malam inaugurasi pada awal perkuliahan dulu. Hmm, sudah berapa tahun yang lalu ya? Dua puluh dua tahun! Seorang penyanyi yang berdiri di panggung, Iksan namanya, kuingat satu angkatan di atasku, menyanyikannya dengan penuh perasaan. Gemerlap panggung, sorak sorai, hingar bingar penonton yang penuh sesak memadati gedung pertunjukan sugguh merupakan suasana yang tak terlupakan.

Setelah dua puluh dua tahun. Beberapa hari ini aku mendengar sayup-sayup lagu itu disetel suamiku di ruang depan, biasanya dia sambil mengerjakan sesuatu di ruangan itu. Nyolder, atau menyervis barang-barang elektronik, atau membongkar mesin atau spare part mobil. Dia membeli kaset bajakan itu di Poncol, katanya sepuluh ribu tiga. He he he. Barang yang tergolong rongsokan tapi lumayan juga buat dijadikan hiburan. Malah kaset tape-pun dia beli juga yang ada lagi I I"ve been away to loong itu Jadi ketika di mobil pun aku mendengarkan juga lagu itu.


Aku tahu kenangan itu takkan pernah kembali. Tapi setidaknya aku pernah memilikinya. Aku pernah menikmatinya. Kenangan itu akan tetap hidup dalam pikiranku, dalam hatiku dan bahkan menjadi inspirasi dalam tulisanku. Semoga aku bisa menjadikannya dalam bentuk novelku kelak. Amin ya Robbal alamin.

HARAP


Subhanallah walhamdulillah, akhirnya aku mendapat tempat untuk berjualan. Namanya pak Akri, orang itulah yang telah berjasa memberikan aku tempat untuk berdagang di arena pasar malam yang berlokasi di Kemayoran. Setelah berjuang selama dua minggu akhirnya aku bisa juga membantu suami nantinya untuk menambah penghasilan. Anakku empat. Semuanya perempuan. Yang pertama kelas lima, yang kedua kelas satu dan yang ketiga dan keempat kembar, umurnya hampir empat tahun. Bagaimana aku bisa berdiam diri melihat suami pontang panting cari duit sendirian, ( dengan mengojek, jadi tukang parkir di sebuah mini market) sementara biaya anak-anak yang terasa menyesakkan dada setiap harinya. Yang uang sekolah, buku, seragam, belum jajan mereka setiap harinya.

Oh, ya Allah, hanya kepadaMU aku berharap. Hanya kepadaMU aku mohon petunjuk. Apa yang sekiranya bisa kulakukan untuk membantu suamiku, untuk sekedar meringankan bebannya. Juga untuk anak-anakku, dalam waktu dekat ini maupun dalam hari-hari panjang ke depan? Beberapa kali aku ikut membantu tetangga berjualan di pasar, aku sering kepikiran untuk bisa berdagang pula seperti tetanggaku itu. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana memulainya? Aduh, pakai duit. Mau dapat duit dari mana? Modalnya bisa sekitar lima ratus ribu atau satu juta saja. Yach, satu juta, uang dari mana? Ya Allah, bukankah Engkau Maha Kaya? Bisakah Engkau pinjamkan aku uang satu juta atau lima ratus ribu saja. Nanti kalau usahaku sudah jalan, aku akan menggantinya. Karena untuk mencari pinjaman ke tetangga sudah susah sekali. Ada beberapa pinjaman yang belum mampu kubayar, mosok aku sudah mau minjam lagi? Iya, kalau nanti usahaku langsung jalan. Kalau tidak? atau misalnya agak lama berjalannya? Ohh, pinjami aku uang ya Allah untuk modal jualan.

Selintas terpikir dalam benakku akan menjual motor saja. Tapi bu Sri, tetangga yang sering aku ikut dia membantu berjualan di pasar atau dalam sebuah bazar-bazar mnegatakan suatu ketika. "Kamu jangan menjual motormu. Sayang. Kalau nanti kamu jadi jualan, motor itu buat kakimu. Jualan ke sana sini kalau pakai motor sendiri kan lumayan? Paling modal bensin seliter dua liter. Dari pada kamu naik bajaj atau ojek, kan keluar ongkos? Iya kalau jualan laku. Kalau enggak?"

Benar juga kata bu Sri. Aku berpikir panjang jadinya. Katanya mendingan cari pinjaman ke bank dengan jaminan BPKB motor. Hari-hariku mulai bersinar dengan rencana yang sudah nampak di depan mata. Mungkin dari situlah Allah akan memberikan pinjaman uang padaku untuk modal jualan.

Tapi halangan datang lagi begitu aku dan suamiku datang ke sebuah bank. ternyata saratnya berbelit-belit. Salah satu syarat yang tak bisa aku penuhi adalah aku harus punya usaha yang berjalan sekurang-kurangnya tiga bulan lamanya. Waduh, macet lagi. Suram. Gelap bahkan pandanganku. Mana mungkin? Justru aku mengajukan pinjaman untuk memulai usaha!

"Coba kamu ambil barang dari orang lain. Kamu pinjam sehari-dua hari untuk jualan. Kalau mau bawa saja barang-barang punyaku. Nanti aku beri harga khusus. Syukur kamu bisa ngejual lebih dari aku. Kan, lumayan untungnya. kamu nggak perlu khawatir barang nggak laku. Toh,kamu bisa kembalikan lagi?"

Oke, aku langsung mengiyakan. Sampai di sini timbul pertanyaan. Lalu aku berjualan di mana? Siang malam sehabis sholat, tak habis-habisnya aku minta pertolongan Allah agar diberikan tempat yang bagus untuk berjualan. Menurut cerita yang kudengar di kemayoran tempat yang bagus untuk jualan. Tapi susah sekali mendapat tempat dan bayarnya mahal. Tapi tidak ada yang mustahil jika Allah memang menghendaki. Begitu aku menyemangati diriku sendiri.

Bersama suami aku ke tempat lokasi pasar malam yang menampung seratusan pedagang kaki lima di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Kami bertemu dengan salah seorang pengelolanya dan memberi uang panjer agar bisa segera di beri tempat. Katanya hari Jum'at suruh datang. Begitu datang, ternyata tempat full. Tak ada sela sedikitpun. Aku bersabar menunggu Jum'at depan. Jum'at berikutnya aku datang, suamiku memberikan kembali uang panjeran yang lebih gede. Katanya bisa langsung masuk hari Senin besok.

Hampir putus asa aku menunggu waktu. Dan pengelola di tempat jualan itu kembali menjanjikan kembali untuk hari Jum,at. Oh ya Allah. Sabarkan hatiku. Sehari Sebelumnya pak Akri, salah seorang pengelola pasar Kemayoran menelpon suamiku katanya tempat sudah ada. Aku ke bu Sri untuk meminjam barang dagangan berupa jilbab dengan aneka model dan warna. Aku boleh membawa sebanyak yang kusuka dan mencatat harga-harganya. Karena beberapa kali aku ikut membantu berjualan, sedikit banyak aku hapal harga-harga jilbab itu.

Dan hari yang kutunggu tiba. Aku diantar suamiku ke tempat lokasi berjualan yang sore itu panas matahari teras masih menyengat hingga ke ubun-ubun. Tidak ada pepohonan di sekitarku. Tapi aku bertahan. Aku pantang mengeluh, apalagi mengingat banyaknya langganan yang bakal mengitariku seperti yang kulihat ketika bu Sri ketika berjualan.

Sejam kemudian dagangan telah siap di atas meja triplek. Belum ada yang melirik. Tenang. Mungkin beberapa jam lagi akan datang pelanggan baruku. Matahari kurasakan mulai luruh ke arah barat. Sejuk, tapi kok agak dingin. UNtung aku sudah sholat asar tadi.Entah bagaimana caranya aku sholat magrib nanti. Ada masjid besar, mungkin aku akan bergantian dengan suamiku untuk sholat. Entahlah, aku terlintas bayangan anak-anak di rumah bersama ibuku. Betapa ributnya mereka ketika mendapati aku tak ada di rumah. Bagaimana makan mereka, sholat mereka dan ngaji mereka. Tentu saja diliburkan hari ini. Karena guru mereka yaitu ayah mereka sedang menunggui ibunya berjualan.

Maaf ya Allah, bisakah aku mengganti amalanku untuk sholat di rumah berjama'ah bersama suami dan anak-anakku dengan amalan yang lainnya? Hanya tiga hari dalam seminggu. Selebihnya akan berjalan seperti biasa. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, aku berjanji akan melakukan tugasku di rumah sebagimana mestinya. Toh, suamiku mengijinkan aku melakukan hal seperti ini. Lagi pula aku tidak meninggalkan sholet sekalipun. Aku hanya sholat maghrib sendiri, tidak berjam'ah. Begitu pula suamiku. Karena kami harus bergantian menunggu dagangan.

Ternyata redup yang menaungiku berubah menjadi awan gelap yang menakutkan. Meski sudah lewat maghrib, namun hitamnya langit yang tak menampakkan bintang secuilpun membuat gundah hatiku.Jangan-jangan akan hujan seperti hari- hari kemarin.Batinku. Dan belum juga berhenti hatiku berguman. Setitik air dari langit mengirim pesan dan seakan menegaskan tentang kekhawatiranku. Aku masih berharap titik air yang jatuh kepadaku hanya embun yang ditiupkan angin ke arahku. Namun gerimis yang turun satu satu semakin menambah risau hatiku. Kiranya memang bukan kiriman embun yang terbawa angin. bahkan angin kencang menghembus marah ke arah jalanan yang dipenuhi pengunjung maupun pedagang kaki lima di sekitar situ.

Dan selang beberapa menit sebelum aku selasai membenahi barang-barangku, guyuran hujan bercampur angin datang menimpaku. Kutinggal mejaku menuju ke tempat berteduh seperti orang-orang lainnya. Untung tadi sudah laku dua buah. Minimal aku sudah membuka penglaris. Mudah-mudahan hujan segera reda. Dan aku segera bisa membuka daganganku kembali. Namun harapanku tinggallah harapan. Hujan makan deras mendera tiap benda yang ada di tempat yang tak terlindungi. Badanku mulai basah kena tampias air hujan. Dan angin yang datang begitu menghujam hingga ke tulang belakangku. Aku bertahan dan terus bertahan.

Dalam keadaan dingin, perih di lambung karena belum makan dan juga kengerian menghadapi hujan dan angin serta geledek, aku mundur dalam banyak langkah. Aku tidak mampu melakukan apapun. Aku sakit. Limbung dan jatuh terkulai di tempat tidur pada keesokan harinya.

"Gimana apa kamu hari ini mau jualan?" tanya suamiku.

"Apa kamu mengijinkan aku berjualan lagi?" tanyaku berbalik dengan nada lemah dan mengharap jawaban iya darinya.

"Aku sedih melihat kamu sakit begitu," sahutnya.

"Aku nggak apa-apa. Aku mau istirahan sahari ini. Nanti juga akan baik. Besok aku mau jualan lagi. Itu juga kalau kamu mengijinkan."

"Kita akan cari tempat agar bisa berjualan pagi-pagi, seperti bu Sri. Kalau malam hari, resiko."

"Iya, nanti. Masalahnya kita sudah bayar ke pak Akri untuk berjualan tiga hari ini. Sayang kalau uangnya hangus. Sambil mencari tempat lain, biarkan aku jualan besok!" pintaku.

Suamiku mengangguk tanpa terlihat anggukannya. 'Ya udah, aku mau ngojeg dulu. Sudah siang,"

Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar. Ya Allah, jaga suamiku. Lindungi dia hal-hal yang mencelakainya. sehatkan badannya agar dia tetap bisa mencari nafkah. Badanku kenapa lemah sekali. Entah sudah berapa kali aku buang-buang air. Begitu keluar dari WC, aku kembali nggelosot di atas kasur. Untung ada ibuku yang mau merawat anak-anakku sementara aku sakit.

Oh,ya Allah. Kasihanilah aku. Kasihanilah suamiku. Kasihanilah anak-anakku. Kasihanilah kami semua. Aku selalu memikirkan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka kelak. Akankah mereka sesusah orang tuanya? Perlahan kuusap mataku. Aku kembali bangkit dari tempat tidur ketika perutku mulai terasa mulas kembali.

@@@

Maaf Tuhan !

Astaghfirullah hal adhim. Perutku kenyang sekali. Kayaknya over weight. Aku makan apa tadi, ya? Barusan hanya menggado cap cai doang. Tapi sebelumnya? Iya. Nasi, nambah. Plus cap cai yang baru mateng. Jadah goreng, pepaya, pisang Lampung, lanthing, peyek kacang. Ya, Allah, begitu banyaknya yang telah kumasukkan ke dalam perutku sesore ini.

Maaf ya Allah. Maafkan atas kerakusanku hari ini.

Pantas saja aku jadi tak bertenaga. Loyo, ngantuk dan pengin molor di kasur.

uuuuhhh !

Memang nggak ada yang bisa memaksa untuk bisa menulis. Apalagi menulis dengan tulisan yang bagus. Mataku. Otakku. Tenagaku. Ohh, lesu dan sangat tidak bersemangat.

Kuputuskan untuk pergi tidur saja. Besok pagi-pagi sekali mudah-mudahan bisa bangun dalam keadaan segar bugar dan semangat untuk menulis.

19 April 2011

Lomba / Peragaan baju pengantin dari bahan tissue


Waktu itu aku mengikuti lomba UPPKS (Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga) yang diselenggarakan oleh BKKBN Pusat. Lomba yang dihadiri oleh perwakilan seluruh propinsi ( 33 propinsi ) se-Indonesia itu berlangsung selama 5 hari di hotel Aryaduta, Jakarta. Kebetulan aku waktu itu mewakili DKI dan mengangkat produk limbah handuk sebagai bahan untuk mengikuti lomba tersebut.

Ada yang menarik dari lomba tersebut, selain adanya tanya jawab khusus seputar kelompok serta kegiatan dalam UPPKS, yaitu ada kegiatan lomba membuat baju pengantin dari tissue gulung. Tissue yang disulap sedemikian rupa menjadi gaun yang indah dan langsung dilekatkan di badanku. Satu kelompokku terdiri 11 orang dan waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas itu hanya satu jam. Lihat saja penampilanku. Tidak menyangka apa yang aku kenakan adalah dari bahan tissue,kan?





Perancangku waktu itu peserta lomba dari Palu, namanya bu Endang. Dia orangnya kreatif banget. Dan cepat sekali memimpin kelompok agar bisa segera menyelesaikan baju pengantin tersebut. Begitu selesai, peragaan pun dilaksanakan. Dan di akhir acara, diumumkan pemenangnya. Horeee, aku dapat juara II. Alasannya kata sang Juri, aku terlalu fasih melenggak-lenggokkan badan sehingga seperti gaya peragawati beneran. Seharusnya sih, biasa-biasa saja, sebagai mana layaknya peragawati amatiran. He he he he....

12 April 2011

Anak angkat

Rasanya tidak mungkin Ana menyampaikan hal itu pada Saskia. Ia masih terlalu kecil. Baru tujuh tahun. Beberapa tahun lagi atau ketika ia menginjak bangku SMU, mungkin di seusia itu ia sudah kuat menerima kenyataan bahwa dia ternyata hanyalah anak angkat. Tapi telpon dari Rima, teman sekolahnya, juga ibu kandung Saskia menyadarkannya bahwa ia harus mengembalikan gadis kesayangannya itu kepada orang yang telah melahirkannya.

Memang tidak ada perjanjian apapun antara dia dan Rima, berkaitan dengan Saskia. Waktu Rima dan suaminya yang hampir bersamaan kena PHK, Ana membawa anak terkecil mereka untuk dirawatnya. Bocah tiga tahun itu begitu penurut dan tak pernah rewel selama dalam asuhan Ana dan suaminya. Dan selama tiga tahun ini ia mengenal Ana dan Budi sebagai orang tuanya, meski di luar sana ada orang lain yang mesti ia panggil pula dengan sebutan ibu dan bapak.

"Aku tidak akan mengakui dia sebagai anakku. Suatu ketika aku pasti akan memberitahu bahwa kamulah ibu kandungnya. Aku hanya meminjamnya untuk menemaniku selama mas Budi dinas ke luar kota. Dan tentu saja aku akan merawatnya selama ia bersamaku. Kalau suatu saat kamu mau mengambilnya, ambil saja. Atau aku akan mengantarnya ke rumahmu," kata Ana waktu itu.

Rima tidak keberatan sama sekali Saskia dibawa orang lain. Apa lagi oleh Ana. Ana adalah teman baiknya, bahkan sahabat dekatnya. Ia bahkan waktu itu berpikir mungkin lebih baik kalau Saskia bersama orang lain, asalkan dia bisa sekolah dan punya masa depan. Begitu PHK, susah sekali mencari pekerjaan yang baru. Beberapa kali mencoba usaha, tidak ada yang berhasil. Untuk kmencukupi keperluan sehari-hari, ia mengambil pekerjaan apa saja. membantu kakak menangani pembukuan di toko sembakonya, juga menjadi tukang masak sekaligus menjaga kantin punya orang lain. Suaminya? Sama. Kerja serabuatan. Untuk keperluan sehari-hari tiga anaknya LIna, Dio dan Fara saja sudah terasa makin berat dari hari ke hari.

Demi ingatannya, bahwa suatu saat ia harus mengembalikan Saskia dalam keadaan yang sebaik-baiknya, Ana tidak pernah bersikap keras pada anak itu. Ia bahkan selalu bertutur dengan lemah lembut, dan hanya melotot jika menyadari sikap atau kelakuan Saskia yang sudah keterlaluan. Menjewer, mencubit, apalagi memukul, belum pernah sekalipun ia melakukannya. Ia menyayanginya dengan tulus dan selalu mengajarkan kebaikan serta menunjukkan sikap tanggung jawab dalam segala hal, termasuk urusan dalam hubungannya dengan Tuhan, Sang Penguasa alam dan seisinya.

Kiranya tugas untuk merawat anak itu akan selesai. Oh, tak sanggup Ana membayangkan untuk menyerahkan buah hatinya itu pada orang tua kandungnya. Seperti ketika ia harus menyerahkan rahimnya untuk diangkat oleh dokter bedah akibat tumor rahim yang menjangkitinya. Ya, seperti itulah yang akan di rasakannya nanti. Ia kembali kehilangan dengan sesuatu yang bahkan telah melekat dalam dirinya.

Ana masuk ke kamar bercat pink lembut itu dan mendapati gadis belianya itu tengah diam menekuni pe-ernya. Sejak dulu Saskia selalu tekun belajar. Ia tidak akan melakukan hal apapun sebelum selesai mengerjakan tugas dari sekolah. Dan nilai-niali rapotnya memang selalu membanggakan.

Namun sebentar kemudian Ana kembali keluar kamar. Ia tak mungkin mengganggunya dengan cerita yang akan disampaikannya. Ia juga tak sanggup mengatakannya. Di ruang tengah ia duduk di bangku sofa, menjejeri suaminya yang terbungkam sejak pulang dari kantor sore tadi. Dalam beberapa menit, keduanya diam dalam kebisuan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kita ambil anak dari Panti Asuhan. Yang jelas-jelas nggak punya orang tua," suara Budi terdengar setengah menggumam.

Ana mengiyakan tanpa mengangguk, tanpa membuka mulut. Dengan lelah ia merebahkan kepalanya ke bahu suaminya. Ia tidak tahu apa bisa ia menyayangi anak lain seperti ia menyayangi Saskia. Meski ia sadar, ada Saskia atau tidak, kehidupan akan terus berjalan. Tidak akan pernah terhenti walau satu detik pun.

"Yaa, kita ambil anak yatim piatu," Budi mengulang kalimatnya sambil mengangguk-angguk. "Asal kita ikhlas merawat dan mendidik, insya Allah akan jadi pahala untuk bekal kita di akherat," Ia merangkul istrinya dan memberinya ciuman mesra di rambutnya.

Tiba-tiba saja Saskia sudah berada di ruangan itu. "Iihhh, papa sama mama ini pacaran terus, deh," cetusnya.

"Hei, Sayang, siapa yang pacaran sih?" kilah Budi sambil mengulurkan tangannya, meraih tangan mungil itu untuk dibawa ke dalam dekapannya. Ana menggeser pantatnya untuk memberi tempat Saskia yang memaksa menyelip di antara dia dan suaminya. Kalau sudah seperti itu, suasana ruangan tengah itu akan hangat oleh ocehan, cetusan, serta teriakan manja khas anak-anak seusia Saskia.

"Ma, aku besok pagi mau rambutku dikepang dua ya?" pintanya.

"Iya, Sayang," angguk Ana mengiyakan.

"Ihh, apa rambutmu masih kutuan, Saskia? Wah, papa pasti ketularan, nih," cetus Budi menggodanya sambil berusaha menjauhkan diri darinya.

"Apaan Papa, sih? Orang sudah nggak ada kutunya. Kemarin Mama sudah membawaku ke salon. Terus rambutku sudah dikramasin dan diobatin." sahutnya cepat.

"Makanya jangan main sama anak yang rambutnya kutuan!" Dengan gemas Budi mencubit hidungnya.

"Iya, gara-gara si Emi rambutnya kutuan. Aku jadi ketularan."

Pada Jum'at sore, sambil menyisir rambut Saskia yang sudah memanjang hingga ke bahu, akhirnya Ana membeberkan rahasianya. Hari Sabtu atau Minggunya, Ana sudah berjanji pada Rima akan mengantar Saskia ke rumahnya. Wajah polos itu terlihat bingung. Perlahan dan dengan sangat hati-hati Ana menjelaskan duduk persoalannya.Bahasa yang digunakannya juga yang sekiranya mudah sekali dicerna dan dipahami anak seusia Saskia. Namun begitu tetap saja Saskia bingung. Entah apa yang terlintas dipikiran kanak-kanaknya mengetahui kenyataan yang lain dari yang telah diterimanya selama ini.

Ia terdiam begitu menyadari sesuatu. Matanya yang biasa ceria itu luruh, dan nampak murung.Jelas ia masih bingung. Ana ingin segera meraihnya, namun anak ia menolak dan menjauh duduknya dari dirinya. Tak berapa lama, ia pamit mau ke kamar.

Meski merasakan sedikit rasa lega, namun Ana merasakan jauh ada yang hilang dalam dirinya. Ya, ia akan segera kehilangan anak kesayangannya. Meski bukan lahir dari rahimnya, ia bersumpah demi Allah, ia sungguh sayang pada anak itu, dan berjanji akan mendidiknya dengan sebaik-baiknya. Tapi apa boleh buat. Anak itu harus kembali ke tempat asalnya. Berada dekat dengan orang tua dan saudara-saudara kandungnya dalam sehari atau dua hari ini.

@@@

Sepertinya masih tengah malam. Entah jam berapa. Baru beberapa saat Ana memejamkan mata ketika mendengar handphone-nya meraung-raung di telinganya. Ia meraba-raba sekitar bantalnya masih dengan mata terpejam. Ketika akhirnya tangannya menemukan benda kecil mungil di bawah bantal, ia mengangkat di atas wajahnya, memeriksa layar benda itu dengan mata mengerjap-ngerjap melawan kantuk.

"Sasi?" Ia sontak kaget dan terjaga.Matanya terbuka lebar dan kantuknya lenyap seketika. Reflek ia memencet salah satu tombol handphone agar bisa terhubung dengan si penelpon.

"Mama, aku mau pulang saja," sahut dari seberang.

"Kenapa, Sayang?"

"Aku mau pulang," dan isak tangisnyapun menderu.

"Sasi..."

"Jemput aku, Ma. Aku kangen sama mama. Aku mau pulang ke rumah mama saja."

Ana tidak bergeming. Bahkan ketika hari berikutnya, dan hari berikutnya kembali Saskia menelpon. Apa kata Rima jika ia datang menjemput Sasi? Oh, tidak. Ia menggeleng-geleng. Ia mengingat keadaan Rima dan suaminya yang kini sudah mulai lancar usaha toko sembakonya. Dan itu yang membuat ia tak mau mengusik keberadaan Saskia di rumahnya. Rumah orang tua kandungnya.

Seseorang mengetuk pintu rumah ketika Ana dan suaminya hendak pergi ke sebuah panti asuhan. Ana membuka pintu dan kaget mendapati sosok di hadapannya. Saskia. Dan berdiri di sebelahnya, Rima, ibunya. Belum habis ketertegunannya ketika melihat gadis kecil itu bergegas menghampirinya. Tangan mungilnya meraih jemarinya, dan menciumnya.

"Mama, aku pulang. Lihat, siapa yang mengantarku kemari!" ucapnya sambil berdiri di sisinya.

"Hei, Rim! Masuk, yuk!" ucapnya pula begitu tersadar.

Rima hanya mengangguk, sembari tersenyum. "Kebetulan aku masih ada perlu. Aku...aku titip Saskia. Kalau kamu tidak kebaratan, biar dia tinggal di sini bersama kalian."

"Iya. Aku akan senang sekali. Aku dan mas Budi akan selalu menjaganya."

"Oke, kalau begitu aku pergi dulu. Sasi, baik-baik kamu di sini, ya? Ingat, jangan nyusahin mama Ana,oke?"

"Ya."

Ana menutup pintu dan mengajak Saskia masuk ke dalam rumah.

@@@@

03 April 2011

jika aku sakit

Jika aku sakit, aku merasa Allah cemburu dengan apa yang kulakukan dan waktu yang kuhabiskan melakukan sesuatu itu. Dan aku tahu, Allah berhak merampas apa-apa yang menjadi milikku, bahkan apa-apa yang melekat dalam diriku. Subhalallah wal hamdulillah. Terima kasih ya Allah, aku sudah sembuh dari sakitku. Maaf, aku meminjam waktuMu untuk hal-hal yang membuatku menjauh dariMu