04 September 2011

SUNGKEM


aku sungguh bangga tradisi sungkem kepada orang tua atau istri kepada suami masih di terapkan di dalam keluarga besarku. Sungguh aku ingin menerapkannya pula kelak kepada anak-anakku.

"Bu, ngaturaken sugeng riyadi. Sedoyo lepat kulo nyuwun pangapunten. Kulo nyuwun pangestu. (bu saya mengucapkan selamat idul fitri, semua kesalahan saya tolong dimaafkan. Saya minta doa restu," Begitulah ucapan yang disampaikan sewaktu sungkem.

Suasana haru menyelimuti seisi ruangan. Bahkan anak-anak kecil di sekitar kami berhenti mengoceh, berhenti berloncat-loncatan, berhenti pula merengek. Mereka agak bingung dengan situasi rumah yang biasa ngobrol ramai, dan riuh bercanda berubah penuh tangis sambil saling berangkulan satu dengan yang lain.

Tidak ada yang tidak menangis. Semua berurai air mata. Semua dendam, amarah seolah (dan semoga) luruh dalam satu waktu yang fitri itu. Terima kasih ya Allah atas air mata yang Engkau alirkan di mata kami. Semoga akan menjadi pencuci dosa dan amarah kami. Terima kasih juga untuk waktu yang telah Engkau berikan sehingga kami bisa berkumpul dengan ibu dan sanak saudara di kampung halaman.

Kamu anak siapa sih?


Aku membawanya pulang kampung pada lebaran tahun ini. Sungguh, anak ini menjadi perhatian banyak orang di rumah. Ibuku, saudara-saudaraku, ipar-iparku, pak dhe, ponakan-ponakan, bahkan pembantu yang baru sekali melihatnya. Anaknya lucu, kenes, bawel, mulutnya nggak berhenti bersuara. Baik mengoceh atau menyanyi lagu khas kanak-kanak yang sudah sangat di hafalnya. Wajahnya juga cantik dengan pipinya yang gembul menggemaskan. Belum perutnya yang gendut dan melihat cara berjalan maupun berlarinya yang lucu.

Entah apa yang dilihatnya dalam diriku. Aku bukan siapa-siapanya. Tapi dia begitu lekat padaku seolah tak mau lepas dariku. Berpisah dengan mamak dan ayah kandungnya selama beberapa hari sama sekali tidak membuatnya rewel. Bahkan melewati jalanan macet selama berpuluh jam pun dia nggak menunjukkan sikap kekanakan, lembek atau cengeng. Sepanjang jalan mulutnya tak berhenti mengoceh atau menyanyi. Kalaupun mengeluh itu karena perutnya lapar. Maka ia akan meminta makan, nggak perduli di manapun atau bagaimanapun situasi dan kondisi kemarin itu. "Bu (begitu ia memanggilku), aku lapel. Pelutku sakit. Aku mau makan nasi," pintanya dengan wajah memelas. Duh, Tuhan. Kami sedang terjebak macet di tengah hutan jati yang meranggas di daerah Sadang. Cuaca panas, nggak ada tempat berteduh dan warung nasi nggak terlihat sama sekali. Akhirnya kami turun, nggelar tikar di samping mobil, sehingga panas matahari terhalang atap mobil, lalu mengeluarkan makanan berupa kue lebaran. Meski enggan, tapi Hilda kecil tetap makan juga. "Nanti kalau ada warung kita makan, ya?" bujukku. Ia mulai mengunyah kue putri salju yang aku bawa dari Jakarta.

Di kota kelahiranku di Purwodadi, Hilda merasa menjadi bagian dari keluarga besarku. Meski umurnya belum genap tiga tahun, tapi ia selalu ngemong sama anak yang lebih kecil darinya. Dia bisa-bisanya membujuk anak dari adikku yang baru berumur setahun sambil menyanyikan lagu. "Habis ini maem lagi, ya?" ujarnya persis kayak orang tua. Tak ayal adikku dan istrinya sayang banget sama Hilda. Dia di beri hadiah kaos, dan permen, coklat, kue-kue. Wah, girang banget tuh si Hilda.

Selain berteman dengan siapa saja sesama anak-anak balita, dia juga sok akrab dengan orang yang lebih tua, dan orang tua sekalipun. Termasuk ibu, pak dhe, dan saudara-saudraku semuanya. Di Magelang, rumah kakak suami, terus di tempat saudara suami yang lainnya, juga begitu sikapnya. Makanya dia selalu bisa diterima di tempat manapun. Semua orang begitu perhatian

Hampir seminggu pulang mudik, akhirnya tiba saatnya kembali ke Jakarta. Aku hubungi ayah dan mamaknya Hilda yang sudah berada di Purworejo agar menjemput Hilda di Magelang. Hilda tidur pules waktu berpisah di terminal. Saat lagi istirahat di daerah Batang, telepon berbunyi. Terdengar tangisan anak di seberang handphone. Ampunn, Hilda. Dia teriak ibu ibu sambil nangis histeris. Kata mamaknya dia nggak mau ikut pulang ke rumah mbahnya di Purworejo, maunya pulangnya sama ibu, ibu. Ampun ngilu hati ini mendengar tangisannya.

Jam 5.45 kami sampai di jakarta. Hilda telepon lagi dengan suara tangisannya sambil memanggil-manggil, "Ibu! Ibu! Kok lama banget nyusulnya? Aku mau sama ibu! Huuuuu!"
Siang, dan malamnya dia terus menangis. Bahkan keesokan harinya begitu juga. Handphone nggak boleh mati dan nggak boleh lepas dari tangannya, terus menempel di telinganya,kata mamaknya.

Masih dua hari ini Hilda bertahan di kampung mamaknya. Karena nggak tahan dengan tangisan Hilda, mamaknya berusaha mencari tiket kereta untuk pulang lebih cepat ke jakarta. Tapi tiket selalu habis. Kasihan si Hilda. Anak siapa kamu ini? Anaknya ibu atau mamak? Omel mamaknya. "Aku anaknya ibu!" jawabnya dengan keras!