15 Juli 2011

Serpihan kasih sayang

Adi tertegun ketika mendengar kabar bahwa ia dan adiknya akan di asuh oleh Bu Asti, tetangganya. Ia sempat bergidik mengingat sikap galak dan keras wanita seumuran mamaknya itu. Dalam hati ia berontak keras. Tapi bisa apa dia? Saudara-saudara dari mamaknya seperti tak mau menampungnya. Mereka sudah repot dengan anak mereka masing-masing. Mbah Putrinya bukan tak mau merawatnya. Galih dan Galang, anak budenya yang di Kali Deres sudah ikut Mbah Putri itu sejak baru setahun umur mereka. Dan pasti mbah putri itu kerepotan kalau ketambahan merawat dirinya dan juga Anisa adiknya yang baru berumur dua tahun dan bandelnya minta ampun.

"Bu Asti itu orang yang baik. Kamu harus nurut sama dia, ya?" nasehat mbah putrinya bagitu Adi menanyakan kabar yang ia dengar."Dia kan teman mamak kamu? Teman baik. Nggak mungkin Bu Asti akan menyia-nyiakan kamu dan adikmu. Apalagi dia nggak punya anak. Dengan kehadiran kamu dan Nisa di rumahnya, dia dan suaminya pasti akan senang. Kamu akan disekolahkan tinggi sampai jadi sarjana nantinya. Dan kamu akan punya masa depan yang bagus seperti Pak Suryo. Jadi Pegawai Negri," tambah Mbah Putri dengan semangat dan penuh harap.

Dengan kalut, kesal dan setengah putus asa, Adi menolak keputusan itu. Alasannya ia tidak mau tinggal dengan orang lain. Ia mau tinggal dengan saudaranya. Budenya, buliknya atau mbah putrinya. Dengan Lik Pardi, Lik Gono, saudara-saudara ayahnya itu juga nggak apa-apa. Asal jangan di rumah Bu Asti!

Tapi bagaimanapun keras ia menolak, Mbah Putrinya tetap bersikukuh akan mengatur kapan ia akan berangkat ke Jakarta membawa dia ke rumah keluarga Bu Asti. Sementara Anisa sudah di bawa Bu Asti sejak mamaknya sakit keras di rumah sakit.

"Ini adalah wasiat mamak kamu. Kamu ingat kan mamak ngomong apa sebelum meninggal?" tegas mbahnya persis suara mamaknya ketika memarahinya.

Adi nampak terpekur. Dan matanya mulai merebak. Hatinya gusar sekaligus gelisah menanggung gundukan kesedihan karena ditinggal mamaknya dan sekarang ia melihat kenyataan bahwa dirinya akan tinggal bersama orang yang tidak disukainya dan akan membuatnya bergidik ngeri sepanjang hidupnya.

Yatim piatu. Beginilah nasibnya. Suatu ketika di tempat ia mengaji sering pak ustad menasehatinya agar ia mengasihi anak yatim. Dengan menyisihkan sebagian uang jajannya guna membantu anak-anak yatim. Tapi bagaimana dengan dirinya kini? Kenapa tidak ada yang mengasihinya? Mbah Putrinya? Saudara-saudara ayahnya dan saudara-saudara mamaknya bahkan membuangnya kepada orang lain.

Ia menangis sambil membekap wajahnya dengan bantal. Terlintas di pikirannya bahawa ia akan jadi gelandangan saja.Jadi pengamen jalanan atau jadi pengemis sekalipun! Ia ingin mati saja seperti mamak dan ayahnya. Karena percuma saja ia hidup. Ia ingin ikut dengan mereka ke alam baka. Itu akan lebih baik dari pada ia harus menanggung kesedihan sepanjang hidupnya. Ia makin terisak mengingat mamaknya. "Ya Allah, aku ingin mati seperti ayah dan mamak. Bisiknya ditengah tangisannya yang tersedu-sedu.

Beberapa saat ia menangis, akhirnya matanyapun terkatup kelelahan. Ia tertidur pulas. Dan dalam tidurnya ia bermimpi bertemu mamaknya. Seketika ia memeluk mamaknya dengan lekat, penuh kerinduan.

"Mamak. Mamak. Aku mau mati seperti Mamak saja," ujarnya sedih.

"Tidak, Nak. Kamu nggak boleh mati. Kamu harus jaga adikmu. Kamu juga harus sekolah yang pintar. Mamak akan menitipkan kamu sama bu Asti dan pak Suryo. Kamu tahu siapa mereka ,kan? Mereka teman baik Mamak. Mereka kini yang akan menggantikan Mamak dan Ayah setelah kami pergi. Mereka akan menyekolahkan kamu dan adikmu. Kamu harus belajar dengan giat dan dapat rinking seperti mas Galih dan mas Galang. Meski tidak tinggal bersama orang tua, mereka tetap bagus nilai rapotnya. Ya? Jadilah anak yang jujur. Itu pesan Mamak. Dan, meski bukan orang tua kandungmu, kamu tetap harus patuh dan berbakti pada bu Asti dan pak Suryo. Kamu dengar, Adi? Kamu denger kan pesan Mamak tadi?"

Adi terjaga. Tidak ada mamaknya di dekatnya. Ternyata ia hanya bermimpi bertemu mamaknya. Tapi kenapa ia seperti benar-benar mendengar suara mamaknya barusan. Di telinganya suara mamaknya terus terngiang. Dan telapak tangannya hingga lengannya benar-benar seperti benar bersentuhan dengan mamaknya waktu berpelukan tadi.

Ia harus menjaga Anisa, kata Mamak tadi. Ia juga harus belajar dan dapat rinking seperti Galih dan Galang. "Meski tidak tinggal dengan orang tua, mereka tetap bagus nilai rapotnya." Mana bisa ia disamakan dengan kedua anak kembar itu? Ia merenung dan merasa ciut hatinya.

Ia membayangkan kehidupan yang bakal dijalaninya. Hidup bersama bu Asti. Kepalanya tergeleng kuat. Ia takut. Teramat takut, bahkan sekedar membayangkan bertemu dan berhadapan muka setiap hari dengan wanita yang nyaris menangkap basah perbuatan bodohnya. Waktu itu ia melihat setumpuk uang di atas kulkas di rumah bu Asti. Niat jahatnya timbul manakala ia ingat ajakan Danu temannya untuk main Play Station di tempat langganan mereka. Dengan uang sebanyak itu, ia bisa main PS hingga sepuasnya.
Ia juga bisa menraktir Danu beli minuman dan makanan. Namun baru saja hendak mengulurkan tangannya ke atas kulkas, tiba-tiba bu Asti keluar dari arah kamar dan terperanjat melihat apayang hendak dilakukannya.

"Kalau sampai Mamakmu tahu kamu akan berbuat nekad dengan mengambil sesuatu yang bukan milikmu, mamakmu pasti tega memotong tanganmu demi menutup rasa malunya di hadapan bu Asti," ujat bu Asti tajam waktu itu.

Sejak itu Adi tak berani sekalipun lewat di depan rumah bu Asti. Kalau Mamaknya menyuruhnya pergi ke rumah bu Asti ia selalu memberi alasan untuk menolak suruhan mamaknya.

"Adi, jangan sering bergaul sama Danu. Dia itu bandel, suka berani sama orang tua, dan pernah ketahuan mencuri uang di toko milik pak Hadi. masih bagus dia itu nggak dilaporkan polisi. Kalau sampai dilaporkan ke kantor polisi, pasti dia sudah masuk penjara,"nasehat mamaknya juga waktu itu dan seingatnya ia tak pernah mengindahkan nasehat itu.

Kini ia tahu dan sadar kenapa selama ini mamaknya nggak suka ia bergaul sama Danu. Ternyata ia bukan teman yang baik. Ia selalu mengajaknya main PS, dan mempengaruhinya agar malas belajar. Belakangan juga ia baru tahu bahwa Danu pernah nggak naik kelas karena nilai rapotnya jeblok.

Adi mengehela nafas. Keinginannya untuk mati perlahan sirna dari hatinya. Ia ingat pesan mamaknya dalam mimpinya barusan. Ia harus menjaga Anisa. Ia tentu saja tak akan meninggalkan Anisa hidup sebatang kara dengan memilih menjadi gelandangan atau pengamen jalanan. Ia akan menemani satu-satunya saudara kandung yang dimilikinya, yaitu Anisa. Ia juga harus belajar keras dan harus jadi anak yang jujur. Akhirnya ia harus menghadapi bu Asti dengan segala resikonya. Ia akan minta maaf tentu saja dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Demi mamaknya dan demi cita-citanya.

02 Juli 2011

Maafkan Kemarahanku


Seperti aku sedang marah. Tapi apa yang aku jadikan obyek kemarahanku sebenarnya? Malu aku mengakuinya. Bahkan mengakuinya pada diriku sendiri. Apalagi di hadapan Allah SWT, Tuhan yang Maha mengetahui tiap-tiap kejadian di dalam liang hati setiap manusia.

Ya Allah, aku kehilangan sesuatu. Dan aku baru menyadarinya. Bagaimana aku mengenyahkan rasa ciut ini dari bilik pikiranku? Aku seperti nggak punya apa-apa lagi di dunia ini. Sesak dadaku menanggung hempasan ombak kegelisahanku. Setiap menit bahkan setiap detik, kala aku mengingat semua itu, setiap itu pula deraan cemas, dendam, marah, kesal menyatu dalam benakku. Rasanya aku tetap tak rela kehilangan. Tetap ingin mengincar sesuatu yang telah enyah dari diriku, dan berharap akan kembali merenggutnya.

Maafkan aku. Maafkan aku. Ajari aku untuk bisa menelaah arti sebuah keikhlasan. Semua di dunia ini adalah milikMu. Kalaupun sesuatu lepas dari tanganku, pasti kembalinya ke tempatMu. Ingin aku mempercayainya. Berkeras aku meyakinkannya. Namun tanpa campur tanganMu, Tuhan, hatiku tetap tak terbalik.

Maafkan aku. Maafkan aku.