27 Juni 2011

Manusia dan Rasa Kehilangan

Sesungguhnya segala yang kita miliki itu benar milik Allah semata. Tangan kita, kaki kita, mata kita, jantung kita dan seluruh anggota tubuh kita semua itu pinjaman dari Allah SWT. Termasuk juga suami kita, saudara kita, orang tua kita, anak-anak kita dan harta benda kita. Semua Allah yang punya. Kita hanya dititipi dan dipinjami untuk digunakan sebagai alat beribadah kepadaNya.

Sebuah berita tragis aku dengar suatu sore sepulang aku dari Gramedia. Adalah bu Titik yang tinggal di depan rumah. Menantu dari bu Titik meninggal seketika dalam sebuah kecelakaan di daerah Kebon Nanas, jakarta.Dia meninggalkan seorang anak yang berumur 2,5 tahun dan seorang istri yang sedang hamil empat bulan. Innalillahi wa innailaihi roji'un!

Memang butuh waktu untuk bisa menerima sebuah cobaan berat seperti itu. Apalagi sampai bisa berlapang dada dan ikhlas menerimanya. Sangat manusiawi jika keluarga besar bu Titik merasa syok dan menangis karena begitu merasa kehilangan orang yang begitu mereka cintai. Apalagi sang ibu yang merasa telah melahirkan dan membesarkannya dan juga istrinya yang saat ini tengah mengandung.

Waktu aku mendengar berita bapak meninggal,aku ingat saat itu aku tengah ujian semesteran perkuliahan. Meski sudah berlalu sekitar 18 tahun lamanya, namun memori tentang saat-saat terakhir bapak sangat membekas dalam hati. Bayangan bapak yang terbujur di sebuah dipan kayu dengan ditutup kain jarik, rumah yang penuh pelayat, penuh orang bertangisan dan kakak perempuanku yang sebentar-sebantar digotong karena pingsan, juga wajah ibu yang pucat serta kuyu dengan mata kosong dan tak lagi mampu mengeluarkan air mata.

Dan yang paling membuat syok adalah manakala melihat jenazah hendak dimasukkan ke dalam liang lahat. Hatiku hancur sehnacur-hancurnya. Aku tidak akan melihat bapak lagi setelah ini. Pikirku kalut dan tak sampai hati membiarkan bapak dibiarkan sendirian dalam ruang sempit di bawah sana. Saat adzan dikumandangkan, aku ingat dan sadar kekuasaan Tuhan. Tapi di manakah Dia? Tidakkah Dia kasihan melihat nasib kami setelah ini? Aku pasti berhenti kuliah. Tapi adik2ku? Bagaimana nasib mereka nanti? Lalu ibuku? Bagaimana dengan ibuku dengan ke delapan anak yang semuanya belum ada yang mapan. Masih bergantung pada orang tua? Bahkan yang paling kecilpun belun dikhitan?

Subhanallah wal hamdulillah. Maha Suci Allah dan segala puja dan puji hanya untuk Allah. Aku bagaikan terbangun dalam sebuah mimpi. Sambil mengusap mata yang bercucuran aku mengenang kejadian menyedihkan itu sekaligus menjadikan sebuah pelajaran berharga untuk kehidupanku sekarang ini. Allah selalu menyayangi hamba-hambanya. Dulu, kupikir bapak tidak bisa digantikan dengan apapun di dunia ini. Tapi Allah menunjukkan kekuasaannya dan mengikis habis keyakinan rapuhku tantang arti kehilangan orang yang kita cintai. Ketika kita kehilangan sesuatu ternyata Allah sudah mempersiapkan sesuatu pula untuk kita. Ternyata benar. Setelah itu beruntun kebahagiaan demi kebahagiaan menyibak tirai hitam rumah kami. Kakakku menikah, aku wisuda dan menikah, kakakku punya anak, adik-adiku beruntun wisauda dan menikah pula dan punya anak. Sekarang ibuku alhamdulillah masih diberi kesehatan. Beliau memiliki 8 cucu saat ini. Betapa ramainya rumah kami saat semuanya berkumpul. Aku selalu membayangkan kehadiran bapak bersama kami saat ini.

Terima masih, Ya Allah atas pelajaran yang Engkau berikan padaku, pada kami. Berikan tempat terbaik bagi bapak kami di sisiMu. Maafkan semua kesalahannya dan terimalah semua amal kebaikannya. Bagaimananapun bapak adalah laki-laki yang yang begitu menyayangi istri dan anak-anaknya. Laki-laki yang bertanggung jawab dan setiap butir keringatnya semoga Allah menjadikan saksi akan kegigihannya dalam memperjuangkan anak-anaknya dengan rezeki halal unuk kehidupan masa depan kami yang lebih baik. Amin.