14 Desember 2011

Gerimis 2

Sayup, kudengar itu
Tetesan tetesan yang menyerupai sebuah denting mengalun
Di atas sana, di luar sana
Kusimak irama merdunya
Kuhirup aroma sejuknya


Seharusnya ada bait-bait berikutnya, namun aku nggak pernah punya kalimat seteguh para pujangga, atau seindah kata-kata para sastrawan. Hanya ini yang bisa kutuang dari otakku. Tidak apa-apa, yang penting asli karyaku. Bukan jiplakan karya orang lain.



23 November 2011

Gosip abu-abu ( 2) : Ada cinta di Bromo


Berita itu kembali menyeruak. Gosip abu-abu Davina dan Arik kembali berhembus. Bagai asap yang menyelubungi udara kampus dan menggelitik telinga siapa saja yang mendengarnya. "Ternyata antara Davina dan Arik memang ada apa-apa. Ada sesuatu diantara mereka," begitu bunyi gosip heboh itu. Cerita punya cerita ternyata asal muasal asap pekat itu dari sebuah foto misterius yang terpampang di pameran foto 'arek-arek' pecinta alam yang digelar selama seminggu ini di dekat pelataran kampus.

Sebuah foto dengan latar belakang pemandangan indah kawah Bromo.  Ada yang menarik dari gambar itu begitu dicermati dengan seksama, Entah siapa yang memulai mengusik foto yang kesannya biasa-biasa saja itu. Banyak gambar pemandangan yang lebih indah dan menakjubkan di pameran yang diambil dalam  perjalanan di sebuah pendakian. Namun foto Bromo itu ada yang membuat penasaran dengan munculnya dua sosok di sana. Siapa mereka? Pertanyaan itu dalam beberapa hari sempat menggantung di alam pikiran beberapa anggota pecinta alam di sekretariat, terutama anggota-anggota senior.

Redi, cowok yang merasa memiliki hak milik foto itupun mengaku nggak mengenali dua manusia yang terambil di dalam fotonya.  Ia mengarahkan kameranya begitu saja waktu itu ke arah kawah dan juga baru menyadari ada dua sosok yang nampak di sana. Menurutnya kehadiran dua sosok yang sedang nampak bermesraan sambil menikmati pemandangan di hadapan mereka itu memunculkan nilai keromantisan tersendiri. Tidak perduli siapa. Bisa jadi dua orang itu  temannya, tapi mungkin juga orang lain yang juga tengah menikmati kasodo Bromo. Bukankah pengunjung dalam moment kasodo begitu berjubel?  Banyak orang datang dari berbagai tempat, bahkan turis dari luar negeri.

Sabrina dan Yessi baru datang ke lokasi

pameran dan mendengar obrolan seru cowok-cowok  di sana. Beberapa tangan nampak menunjuk sebuah gambar di dinding sambil terus berkomentar dan di sahuti serta ditimpali komentar yang lainnya. Kedua cewek tu tercengang melihat foto heboh itu kini sudah diperbesar, dan keadaannya tidak lagi telanjang, melainkan sudah diberi figura cantik. Posisi memajangnya tidak lagi di depan dan tergabung dengan sekumpulan gambar tentang suasana Bromo, namun sudah dipindah ke belakang karena alasan sedang dalam proses debat mengenai sosok yang muncul di sana.

"Aku kayaknya pernah lihat foto ini. Tapi di mana, ya?" ujar Yessi sambil berpikir. Dengan ukuran lebih besar dibanding sebelumnya yang berukuran post card, memori di dalam otaknya bekerja menggali sesuatu yang bertumpuk-tumpuk yang pernah terekam dalam kepalanya.

"Yes, kayaknya foto cewek ini lebih mirip kamu? Lihat rambutnya. Sama, sebahu. Badannya juga kecil kayak kamu. Jangan-jangan kamu yang ada di foto ini!" tuding Rudi, dengan menatap penuh curiga ke arah cewek mungil itu.

"Ngawur!" bantah Yessi langsung. "Kalau memang itu aku, aku sudah mengumumkannya dari sejak hari pertama pameran!"

"Kalau cowoknya kira-kira siapa, ya?" tanya Alba, si Ketua Umum.

"Iya, aku juga pernah melihat foto ini dengan seukuran seperti sekarang ini. Tapi di mana?" Sabrina juga melontarkan kalimat serupa dengan penasaran. Matanya tajam mengamati foto, yang menggambarkan wajah samar seorang cowok dengan posisi miring. Kelihatannya dia sedang tersenyum lebar. Atau tertawa sambil memandang dengan penuh mesra ke arah cewek di sebelahnya. Sementara si cewek agak memiringkan sedikit kepalanya. Dalam imajinasinya kedua makhluk bahagia itu tengah saling  memandang sambil mengumbar senyum mereka.

"Aku tahu. Aku tahu.!" seru Yessi keras tiba-tiba. Ia menutup mulutnya menyadari suaranya sempat membuat pengunjung menoleh ke arahnya. Sambil meraih pundak Sabrina, ia membisikkan sesuatu ke telinga sahabatnya itu, " Arik, Arik. Kamu ingat, kan, Davina juga punya foto ini di rumahnya?"

"Iya, aku pikir juga dia," gumamnya.

Keduanya mencari Davina dan menemukannya baru keluar dari kelas dengan wajah lesu serta muram. Yessi dan Sabrina langsung membawanya ke kantin. Cewek imut berkulit seputih susu itu sungguh, awalnya banyak yang meragukan kesungguhannya masuk menjadi anggota pecinta alam. Dan kenyataannya memang demikianlah. Berbagai tahapan 'penyiksaan' kala diklat hingga pelantikan, tak ada sikap cengeng yang ditunjukkannya. Ia benar-benar seteguh karang.

"Vin, foto yang di Bromo itu foto kamu sama Arik? " tanya Yessi langsung. Tak sabar menunggu sampai bisa duduk enak di kursi kantin.

Mata bundar itu memandang ke arah keduanya secara bergantian. Meski sudah dalam posisi duduk, ia masih berusaha berpegangan pinggiran meja, seolah khawatir kursi yang didudukinya tak kuat menyangga berat tubuhnya. "Foto di Bromo? Iya. Aku sama Arik."Ia mengakuinya dengan tanpa ragu. Tanpa beban.

"Kamu juga punya foto itu di rumahmu." ujar Sabrina. 

Davina mengangguk sembari menyeruput gelas kopinya dengan penuh nikmat, sama sekali tidak terpengaruh seberapa jauh kedua kakak seniornya itu menginterogasinya. Di bagian belakang foto yang diberikan Arik kepadanya itu bertuliskan,"Selamat Ulang Tahun."

"Aku yakin Arik pasti punya foto itu juga di rumahnya," cetus Yessi dengan nada geregetan. "Kamu tahu apa artinya itu, kan, Vin? Artinya Arik itu suka sama kamu. Arik itu cinta sama kamu! Apa kamu nggak sadar perhatian Arik selama ini sama kamu?"

"Apa benar kamu nggak ada apa-apa sama Arik, Vin?" tegas Sabrina lebih lembut.

Davina hanya mengangkat dua jarinya ke dekat pelipisnya, seraya bersumpah. Seperti yang selalu diakuinya selama ini. Sejauh ini ia masih bisa menyembunyikannya dari siapapun. Arik pergi entah ke mana. Ia juga nggak pernah masuk kuliah. Usai acara pembukaan pameran empat hari yang lalu, Arik menanyakan perjodohannya dengan seseorang yang dia ketahui entah dari siapa.  Mungkin suatu ketika Arik bertemu dengan salah satu sahabatnya yang mengetahui perihal perjodohan itu. Ya, Davina memang dijodohkan dengan seseorang pilihan orang tuanya. Jadi bagaimana mungkin dia bisa menerima cinta Arik?

"Kalau saja kamu tahu, aku di sini adalah karena kamu. Aku bisa saja terbang ke negeri yang terjauh sekalipun. Tapi apa gunanya jika kau tak bersamaku? Aku mencintaimu. Melebihi apapun di dunia ini."

Pesan singkat dari Arik yang diterimanya kala perkuliahan berlangsung siang tadi seakan merobek-robek hatinya. Ia sungguh tidak menyangka berada dalam situasi sulit begitu. Ia menyayangi tunangannya, tapi di lain sisi, ia juga tak sanggup jika Arik meninggalkannya. Ia juga mencintai Arik? Entahlah, ia tidak begitu yakin  dengan perasaannya. Tapi ia benar-benar ingin menangis jika mengingat Arik bakal meninggalkannya.***

19 November 2011

Prasangka

Saskia pergi ke mall sepulang sekolah bersama dua orang temannya. Sambil berkicau dan bercanda ketiganya merasuk ke dalam gedung megah yang telah ramai oleh pengunjung. Namun tiba-tiba mata Saskia menangkap sesuatu di sebuah toko kue. Di dalam sana duduk seorang wanita dan lelaki yang layaknya sedang berkencan di siang bolong. Wanita itu mamanya. Ya, mamanya. Dan laki-laki itu entah siapa. Kakinya lemas seketika, namun hatinya panas, keras dan marah.

Mamanya selingkuh? Ia tidak ingin mempercayainya. Tapi matanya tak bisa mengaburkan pemandangan menjijikkan di hadapannya. Dan pikirannya tak bisa begitu saja menghapus slide berdurasi beberapa menit yang sempat ditangkapnya. Rina, temannya segera menyeretnya, mengajaknya menjelajah ke tempat deretan cardigan dengan model paling gress di sebuah gerai di lantai dua. Untung kedua temannya Rina dan Heidi tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Mereka juga tidak menyadari mama Saskia ada di tempat itu. Bersama seorang lelaki.

Kalau sampai mereka tahu, dan berita itu bocor di sekolah, entah apa yang bakal terjadi.  Kini ia kehilangan selera untuk melanjutkan jalan-jalan ke mall. Bahkan tawaran Heidi untuk makan es krim pun di tolaknya. Alasannya ia tiba-tiba pusing. Alasan lain yang dirasakannya yaitu merasa muak sampai pengin muntah, mengingat mamanya berada bersama seorang lelaki di bangku di dalam sebuah toko kue di lantai satu sana.

Ia pamit pulang segera setelah membantu Heidi memilihkan rompi cantik warna pink.. Rumahnya tak jauh dari mall. Tinggal jalan kaki sekitar sepuluh menit, sampai. Sedangkan dua temannya mesti naik angkot untuk sampai ke rumah mereka. Meski berat hati dua cewek itu merelakan Saskia pulang lebih dulu. Saskia kembali menyusuri tempat yang ia lewati bersama temannya di depan toko kue. Namun pemandangan di sana sudah berbeda. Tidak ada mamanya bersama laki-laki tadi. Yang ada kini seorang cewek ABG berseragam sekolah layaknya dirinya bersama cowok berseragam pula.

Sesampai di rumah, ia mendapati mamanya duduk di ruang makan dengan tangan memegang jarum jahit dan sebelah tangannya lagi memegang seragam sekolahnya. Saskia ingat kemarin ia mengadu tentang kancing baju seragamnya yang lepas. Seumur-umur belum pernah Saskia memegang jarum jahit.  Dari memasang kancing, menjahit yang robek, atau menambal yang bolong. Semua mama yang mengerjakan. Saskia mengurungkan niatnya untuk menanyai mamanya dan menginterogasi seputar laki-laki yang tadi bersamanya.

Keesokan harinya Saskia membawa papanya masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia tidak mau apa yang akan ia bicarakan dengan papanya terdengar oleh mamanya dan dua saudaranya yang kamarnya bersebelahan dengannya. Kemudian ia menceritakan pada papanya tentang mamanya yang dilihatnya kemarin di mal  bersama seorang laki-laki.

"Mungkin hanya teman," sahut papanya berusaha menghibur, meski beberapa saat tadi sempat terlihat tercengang mendengar penuturannya.

"Tapi mereka terlihat akrab dan mesra ,di tempat umum begitu, Pa. Aku lagi sama teman-temanku waktu datang ke mall. Bagaimana kalau teman-temanku tahu perbuatan Mama? Kan, aku akan malu sekali, Pa!" "
 
"Sayang, Papa mengenal Mamamu bahkan sejak dia seumuran kamu. Papa kenal banget siapa dan bagaimana Mamamu.. Nggak mungkin dia melakukan hal-hal negatif seperti perkiraanmu. Laki-laki itu pasti temannya. Nanti kita bahas lagi, ya? Papa ada rapat,nih!"

Saskia tahu papanya nggak akan mempercayai begitu saja omongannya. Papanya itu terlalu mencintai mamanya. Bahkan begitu memujanya. Ditatapnya wajah yang beranjak tua dengan halaian uban di sekitar kening hingga telinganya.  Ada setiti k rasa sesal menyembul di hati Saskia menyadari kemurungan yang perlahan meremangi wajah yang masih menampakkan sisa ketampanannya di waktu muda itu.

Di meja makan, semua berkumpul untuk sarapan. Mama nampak sibuk menyendokkan nasi ke piring-piring di atas meja. Sementara seorang pembantu menyodorkan gelas-gelas berisi air putih ke meja.

"Sayang, kemarin kamu pergi ke mana? Aku telpon ke rumah nggak ada yang ngangkat?" tanya Papa pada mamanya.
 
"Aku? Ke mana kemarin aku?" tanyanya seperti orang linglung."Oh, aku ke mal kemarin..."

"Ke mal? Bukannya listrik, telpon dan air sudah dibayar minggu lalu?" tanya Papanya dengan nada santai  dan sambil lalu tanpa terkesan mengiterogasi. Saskia duduk diam di kursinya. Diam-diam hatinya was-was. Takut ada sesuatu yang bakal  pecah di meja makan pagi itu.

Wanita itu duduk menghadap piringnya. Ia baru akan makan jika semua anggota keluarga sudah makan. "Sebenarnya aku iseng  ke mal. Tapi....Oh, iya, aku belum cerita. Semalam aku mau cerita, tapi  kulihat  kamu sudah capek pulang kantor. Kemarin aku ketemu temanku si Rudi. Ingat temanku si Rudi?"
 
"Temen apa, Ma? SMA?" tanya Bintang si ragil dengan antusias.

"Bukan, teman kuliah."

"Bekas pacar Mama?" celetuk Prima, kembaran Saskia sambil menyeringai.

"Bukan. Teman Mama." sahut Mama keras. "Ingat, kan, Mas? Dia mau datang ke sini nanti."

"Oya?"

"Mungkin hari Minggu besok. Kamu nggak ada acara ke mana-mana, kan, Mas?"

Papa terlihat menggeleng.

"Trus, ada temanku aku satu lagi. Cewek. Si Sabrina. Yang setengah bule? Ingat, kan? Dia juga mau datang ke sini."
 
"Yang cakep, tinggi semampai itu, kan?"

"Iya." Mata mamanya terlihat berbinar. "Tahu, nggak? Si Sabrina ternyata sekarang janda. Suaminya meninggal akibat kecelakaan.  Dan si Rudi, sudah bercerai dengan istrinya. Jadi, kemarin si Rudi minta tolong aku untuk mencomblangi dia sama si Sabrina." Mama tersenyum geli mengingat pertemuannya di Mal  kemarin itu. "Sebenarnya dari dulu aku selalu yakin bahwa Rudi itu suka sama Sabrina." Mata Mama terlihat menerawang. "Akhirnya setelah hampir dua puluh tahun...."

"Terus? Tapi.... ceritanya nanti sore saja, ya? Aku sudah hampir telat." 

Mama mengangguk, dan mendapati sang suami bangkit dari tempat duduk dengan tergesa-gesa. Mama ikut bangkit dan membuntuti papa hingga ke pintu depan. Ketika Papanya memberikan ciuman sayangnya ke Mama, wajah Papanya melengos mencari wajah Saskia. Anak gadisnya itu terlihat  diam termangu di kursinya.  ***

30 Oktober 2011

Hebatnya PKL

Sebuah papan bertuliskan “DILARANG BERJUALAN DI TAMAN DAN BADAN JALAN DI SEPANJANG JALAN INI”. Namun anehnya, di sekitar tempat itu banyak sekali orang berjualan. Namanya juga PKL. Tidak akan mempan kalau hanya diberi peringatan berupa tulisan yang diberi tiang dan ditancapkan di sekitar lokasi larangan orang berjualan. Harus ada petugas keamanan atau satpol PP yang dikerahkan, baru mereka akan mengosongkan tempat itu dan pindah berjualan ke tempat lain.

Apa yang terpikir oleh kita tentang seorang pedagang kaki lima yang suatu ketika nampak dalam berita TV sering terlihat menjadi sasaran gusuran oleh aparat keamanan? Apa mereka hidup susah? Apa mereka dalam keadaan kekurangan? Miskin? Dan tak berpendidikan?

Sepanjang jalan sekitar arena pacuan kuda Pulomas, jakarta Timur, tiap hari Minggu sudah dipenuhi pedagang kaki lima sejak pukul empat pagi. Mereka datang dari berbagai tempat. Ada yang dengan sepeda motor, Bajaj, taksi, mobil butut, namun yang mencengangkan, tidak sedikit dari mereka berjualan dengan mengendarai mobil mewah dan kinclong. Apa yang mereka jual? Buanyak. Seribu satu macam barang dagangan ada di sana.

Saya kenal seorang PKL yang sekaligus merupakan staf karyawan sebuah kantor Walikota. Ia tahu benar peraturan tentang larangan berjualan di sepanjang jalan karena berakibat terganggunya arus lalu lintas dan juga mengganggu kenyamanan bagi penduduk setempat. Namun ia hanya nyengir ketika diungkap masalah itu. “Habis gimana? Hasil jualan tiap minggu itu buat mbayar angsuran Avanza-ku,” sahutnya pasrah.

Seorang ibu yang merupakan single parents bagi dua putrinya hanya seseorang yang hanya sempat bersekolah hingga SMP. Namun siapa sangka dari jerih payahnya menjadi pedagang kaki lima, ia mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Satu diantaranya sudah lulus sarjana. Dan seorang lagi
baru akan mulai skripsi.

 Ada seorang temen saya yang juga seorang PKL. Dia datang ke tempat dia jualan di sebuah Bazar yang diadakan di sebuah rumah sakit di Jakarta dengan dandanan dan penampilan yang lain dari biasanya. Cantik dan modis. Setelah ditanya, dia mengatakan habis menghadiri wisuda anaknya. Bayangin, anaknya lulus fakultas kedoktean UI.

Satu lagi, saya bertemu dengan bapak-bapak yang menjual baju atasan cewek seharga lima belas ribuan di sebuah pasar tradisional di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Entah barang bekas atau bukan. Saya nggak tega menanyakannya. Dagangannya tidak banyak. Hanya sekitar dua atau tiga lusianan. “Mudah-mudahan anak saya tidak susah kayak saya hidupnya,” katanya. Ia lalu mengatakan bahwa saat ini anaknya kuliah di IKIP.

Apa anda yang berminat menjadi PKL? Tidak perlu gengsi. Apalagi kalau lihat omset yang didapat. Yah, lumayan. Bisa buat ngredit mobil Avanza atau buat nguliahin anak.***

29 Oktober 2011

Gosip abu-abu


Benar-benar gosip yang menggelikan. Batin Davina. Dia dan Arik pacaran?  Kepalanya tergeleng beberapa kali. Ia bahkan tertawa sendiri seperti orang sinting. Arik tak beda dengan teman-teman cowoknya yang lain. Kalaupun ia lebih dekat dan sering bareng kemana-mana, semata-mata karena kebetulan ia dan Arik sekelas dan sama-sama aktif ikut pecinta alam. Mosok iya, dari sekretariat ke kelas, atau dari kelas ke sekretariat mau jalan sendiri-sendiri? Nggak mungkin lah! Anak-anak saja yang iseng menjodoh-njodohkan dirinya sama Arik. Si Sabrina, sama pasangan gilanya si Alba. Dari merekalah sesungguhnya gosip itu bermuasal. Bagaikan sebuah asap, gosip itu ditiupkan ke segala  penjuru  kampus. Hingga mulai dari sekretariat, ruang kelas, bahkan di kantin. Semua orang membicarakannya. Sesekali ketika nampak ia dan Arik tengah melintas di suatu tempat, sebuah gerombolan mahasiswa yang tengah menunggu jam kuliah di depan kelas atau di dekat taman, sontak akan menepi memberi jalan untuk dia dan Arik. Tak luput dari mata Davina, mereka terlihat berbisik-bisik satu dengan dengan yang lain sambil menunjuk-nunjuk arah dirinya dengan isyarat ekor mata mereka. Hmmm..... Ia kembali tergeleng. Mengeluh panjang. Lalu bersikap masa bodoh.

Entah dengan Arik sendiri. Mustahil ia belum mendengar gosip itu. Tapi kenapa ia tenang-tenang saja? Setenang air danau yang tidak beriak sedikitpun oleh hembusan gosip yang menerpanya. Nggak mungkin Davina akan mengusiknya dengan menanyakan tentang gosip murahan itu kepadanya. Mungkin Arik sama kayak dirinya. Nggak menganggap segala sesuatu harus ditanggapi dengan serius. Santai saja. Arik toh nggak mungkin naksir dirinya. Sama dengan dirinya yang nggak mungkin suka sama Arik.

Kuliah dimulai jam setengah tujuh theng! Pak Djati, dosen paling angker di seantero kampus nggak akan toleran terhadap mahasiswa yang telat meski dengan alasan apapun. Makanya meski dengan terkantuk-kantuk, ia dan pasti banyak mahasiswa lain di kelasnya berusaha datang tepat waktu. Ia melihat Arik menguap lebar ketika masuk kelas tadi dengan mata yang masih enggan terjaga. Sangat tidak bersemangat.

Di kantin, usai kuliah, nampak mereka duduk berhadapan dengan masing-masing menghadapi segelas kopi hitam yang mengepul di atas meja. Davina meniup-niup kapi panasnya. Nggak sabar rasanya ingin segera menyeruput minuman sewarna comberan itu.  Wajahnya cantik. Dan selalu cantik dalam keadaan apapun. Bahkan ketika berada dibawah terik matahari dengan kulit wajah mulus itu berleleran keringatpun, tetap terlihat cantik. Juga saat berlepotan lumpur waktu pelantikan anggota pecinta alam dulu. Hitamnya lumpur tidak menghapus sedikitpun garis kecantikannya.
  
"Rik," panggil cewek itu tiba-tiba.

Arik tercekat. Nampak gugup, tapi agak rileks setelah menghirup sedikit minumannya.

"Kamu dengar gosip itu kan?" tanyanya tanpa tahan lagi.

"Gosip? Oh, gosip?"

"Iya. Gosip yang mengatakan bahwa kita pacaran?" lanjutnya sambil berusaha menatap.

Arikpun tersenyum. Lalu menggaruk-garuk kepalanya. Oh, lega sekali Davin begitu melihat reaksi itu. Tentu saja. Arik pasti menganggap dia adalah teman. Nggak lebih. Banyak cewek yang mengejar-ngejarnya selama ini. Di antaranya si peragawati  kampus yang cantik dan seksi itu. Juga anak ekonomi, si Reni. Dan ada lagi  Eva,  Tina, Risty. Kenapa harus dirinya?  Yang pasti ia lega setelah mengetahui reaksi lewat senyumannya itu.

"Ah, kamu kayak nggak tahu anak-anak saja," komentarnya makin membuat hatinya kian ringan tanpa beban.

"Iya. Aku tahu. Memang mereka suka mbikin gosip yang enggak-enggak."

"Kenapa, Vin? Kamu terganggu dengan gosip itu, ya?"

"Aku pikir justru kamu yang terganggu."

“Terganggu apa? Ah, aku biasa-biasa saja."

"Nanti cewek-cewek yang naksir kamu pada patah hati gara-gara gosip ngawur itu.”

“Cewek-cewek yang naksir aku? Siapa? Pacarmu mungkin yang marah.” Ia sempat berkilah dan membalikkan pertanyaannya.

Mata bundarnya melotot lucu.  Sementara bibirnya yang kemerahan mencibir, sebagai  reaksi antara geram dan sebal. Arik sambil hanya tersenyum simpul sengaja meledeknya. Ia masih ingat Davina  pernah bilang nggak punya pacar.

"Kamu benar nggak punya pacar, Vin?" tanyanya masih ingin meyakinkan. Davina menegaskan dengan gelengan. "Vin,"  Arik menatapnya dengan serius kini. Agak lama, begitu dalam dan mengandung sebuah pengharapan. 

 "Apa?" ia balas menatapnya, menunggu kalimatnya.

"Nggak. Nggak jadi. Lupakan saja," entah kenapa ia mengurungkan ucapannya. Kepalanya tergeleng beberapa kali.

“Kamu ini kenapa sih?!”

Cowok itu tetap bertahan dengan gelengannya.

Gadis dengan wajah polos dan kekanakan itu sesungguhnya tidak seperti yang tampak oleh kebanyakan orang. Arik mengenalnya lebih dekat dalam sebulan ini dan banyak kali dalam suatu perjalanan sebuah pendakian ke puncak gunung. Ia begitu keras dan sedikitpun tidak lembek. Ia tak pernah mengeluh atau bersikap cengeng seperti kebanyakan cewek.  Ia tidak gampang  kelelahan meski telah berjalan berpuluh kilo. Ia tidak memekik kepanasan ketika berada dibawah terik matahari. Atau ia hampir nggak pernah terdengar mengeluh kesakitan meski jatuh dan luka di bagian lengan atau kakinya.  Entahlah, dalam banyak hal, Arik merasa begitu ingin bergantung dan terikat dengan seseorang yang  teguh dan kuat bagaikan batu karang itu. 

Meski hatinya telah terpaut oleh pesonanya, namun ia tak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Entah sampai kapan ia akan memendam perasaan itu. Gosip yang beredar di kalangan anak-anak sekretariat itu sungguh bukan sesuatu yang begitu saja meletup di permukaan. Ia mengakui perasaannya itu di hadapan Alba, Rudi dan Adi. Dan suatu waktu ia ikut arus anak-anak menikmati minuman memabukkan. Dan di tengah mabuknya, ia berkicau dan mengoceh tentang gadis cantik bernama Davina itu. ***

28 Oktober 2011

Tidak sadarkah kita bahwa Allah selalu menagih janji kita?

Beberapa hari ini aku selalu terbangun sekitar jam tiga pagi. Selalu pada sekitar jam-jam tiga buta. Biasanya aku ke kamar mandi.  Pipis, lalu balik lagi ke tempat tidur. Tersirat keinginan untuk melakukan sholat malam. Namun sudah terlanjur menempel di atas kasur, enggan rasanya untuk bangkit lagi. Seribu satu alasan dibisikkan setan ditelingaku untuk tetap pada posisi dibawah selimut,  kembali meneruskan tidur dengan nyaman. Besok saja sholatnya, bisikan setan membius telinga hatiku. Sholat tahujud, lewat. Sholat dluha, lewat pula. dan puasa sunah Senin-Kamis pun juga lewat. Hanya  terucap sebatas niat di hati belaka tanpa ada pelaksanaan nyata.
Suatu ketika perasaan berdosa pun menghinggapiku. Aku takut tiba-tiba Allah marah kepadaku. Meski bukan perbuatan maksiat yang kulakukan, tapi tidak menepati janji pun, mungkin bisa saja nanti Allah akan marah dan tidak memperdulikanku, bahkan menjauhiku.
Aku sengaja tidur agak sore dalam rangka menepati janjiku. Kupasang alarm di handphone pada jam dua dini hari. Sebelum benar-benar terlelap aku berdoa," Ya Allah bangunkan untuk sholat tahajud semat-mata karena aku ingin bersyukur kepadaMu dan ingin menunjukkan bahwa aku mencintaiMu melebihi apapun di dunia ini." Namun ketika alarm itu meraung-raung, aku malah mematikan alarm lalu kembali terbaring. "Sebentar lagi,"  kata hatiku mengikuti bisikan setan yang bertengger di telingaku. Sedetik aku kembali pulas. Sepuluh menit, sesuatu membangunkan kembali kesadaranku. Sebenarnya aku sama sekali nggak ngantuk. Aku juga berniat untuk bangun dan pergi ke mar mandi dan mengambil air wudlu. Tapi masih jam dua lewat sepuluh menit. Setengah jam lagi aku masih bisa melakukannya. Waktu sholat tahajud kan sampai mendekati waktu subuh? Aku kembali terkubur di bawah selimut. Dan pas sepuluh menit kemudian aku kembali terjaga. benar-benar terjaga. Aku duduk di penggir tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi. Seperti ada yang menuntunku, tanganku bergerak membuka kran dan jemariku kutadahkan dibawah kucuran air. Kubasuh wajahku, tanganku, telingaku, ubun-ubunku, tengkuk, juga kakiku. Setela itu aku ke ruang mushola, memakai mukena dan berdiri di atas sajadah siap bersholat.
Ketika mengangkat kedua tangan dan menyeru lirih kalimat takbiratul ihram, "Allaahu akbar!" hatiku bergetar.  Keheningan malam seakan meruntuhkan dinding-dinding hatiku. Dan bacaan iftitah semakin memporak porandakan perasaanku. "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah, penguasa alam semesta," Air mataku berleleran tiada henti mengingat janji itu. Ya, setiap hari paling tidak sebanyak lima kali kita berjanji dihadapan Allah untuk menyerahkan diri kita semata-mata untukNya.
Selesai melakukan salam, aku diam merenung. Aku merasakan kehadiran Allah di hadapanku. Apa dia tersenyum? Apa dia masih marah? Oh, Ya Allah, maafkan aku. maafkan semua kesalahanku. Ampuni semua dosaku. Sudah lama aku melupakanMu, dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa saja membuat Engkau kesal dan mencabut semua nikmat yang telah kau taburkan dalam diriku, dalam kehidupanku. Aku menjadikan sholat hanya sekedar rutinitas, karena aku selalu diburu waktu untuk menyelesaikan pekerjaan duniaku. Dalam sholatku, aku tidak pernah sungguh-sungguh menemuiMu seperti sekarang ini. Maafkan aku ya Allah, ampunilah diriku.

(Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana orang setiap hari melaksanakan sholat, tapi di sisi lain dia juga masih berbuat dosa. Tidak sadarkah kita bahwa Allah selalu menagih janji kita? Janji untuk melakukan segala sesuatu semata-mata karena Allah? Janji dalam sholat kita bahwa, "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata untuk Allah?" Apa mereka mencuri, menipu, korupsi, dan sebagainya itu dilakukannya karena Allah? Bertobatlah, bertobatlah, maka Allah akan menyelamatkan kita). ***

04 September 2011

SUNGKEM


aku sungguh bangga tradisi sungkem kepada orang tua atau istri kepada suami masih di terapkan di dalam keluarga besarku. Sungguh aku ingin menerapkannya pula kelak kepada anak-anakku.

"Bu, ngaturaken sugeng riyadi. Sedoyo lepat kulo nyuwun pangapunten. Kulo nyuwun pangestu. (bu saya mengucapkan selamat idul fitri, semua kesalahan saya tolong dimaafkan. Saya minta doa restu," Begitulah ucapan yang disampaikan sewaktu sungkem.

Suasana haru menyelimuti seisi ruangan. Bahkan anak-anak kecil di sekitar kami berhenti mengoceh, berhenti berloncat-loncatan, berhenti pula merengek. Mereka agak bingung dengan situasi rumah yang biasa ngobrol ramai, dan riuh bercanda berubah penuh tangis sambil saling berangkulan satu dengan yang lain.

Tidak ada yang tidak menangis. Semua berurai air mata. Semua dendam, amarah seolah (dan semoga) luruh dalam satu waktu yang fitri itu. Terima kasih ya Allah atas air mata yang Engkau alirkan di mata kami. Semoga akan menjadi pencuci dosa dan amarah kami. Terima kasih juga untuk waktu yang telah Engkau berikan sehingga kami bisa berkumpul dengan ibu dan sanak saudara di kampung halaman.

Kamu anak siapa sih?


Aku membawanya pulang kampung pada lebaran tahun ini. Sungguh, anak ini menjadi perhatian banyak orang di rumah. Ibuku, saudara-saudaraku, ipar-iparku, pak dhe, ponakan-ponakan, bahkan pembantu yang baru sekali melihatnya. Anaknya lucu, kenes, bawel, mulutnya nggak berhenti bersuara. Baik mengoceh atau menyanyi lagu khas kanak-kanak yang sudah sangat di hafalnya. Wajahnya juga cantik dengan pipinya yang gembul menggemaskan. Belum perutnya yang gendut dan melihat cara berjalan maupun berlarinya yang lucu.

Entah apa yang dilihatnya dalam diriku. Aku bukan siapa-siapanya. Tapi dia begitu lekat padaku seolah tak mau lepas dariku. Berpisah dengan mamak dan ayah kandungnya selama beberapa hari sama sekali tidak membuatnya rewel. Bahkan melewati jalanan macet selama berpuluh jam pun dia nggak menunjukkan sikap kekanakan, lembek atau cengeng. Sepanjang jalan mulutnya tak berhenti mengoceh atau menyanyi. Kalaupun mengeluh itu karena perutnya lapar. Maka ia akan meminta makan, nggak perduli di manapun atau bagaimanapun situasi dan kondisi kemarin itu. "Bu (begitu ia memanggilku), aku lapel. Pelutku sakit. Aku mau makan nasi," pintanya dengan wajah memelas. Duh, Tuhan. Kami sedang terjebak macet di tengah hutan jati yang meranggas di daerah Sadang. Cuaca panas, nggak ada tempat berteduh dan warung nasi nggak terlihat sama sekali. Akhirnya kami turun, nggelar tikar di samping mobil, sehingga panas matahari terhalang atap mobil, lalu mengeluarkan makanan berupa kue lebaran. Meski enggan, tapi Hilda kecil tetap makan juga. "Nanti kalau ada warung kita makan, ya?" bujukku. Ia mulai mengunyah kue putri salju yang aku bawa dari Jakarta.

Di kota kelahiranku di Purwodadi, Hilda merasa menjadi bagian dari keluarga besarku. Meski umurnya belum genap tiga tahun, tapi ia selalu ngemong sama anak yang lebih kecil darinya. Dia bisa-bisanya membujuk anak dari adikku yang baru berumur setahun sambil menyanyikan lagu. "Habis ini maem lagi, ya?" ujarnya persis kayak orang tua. Tak ayal adikku dan istrinya sayang banget sama Hilda. Dia di beri hadiah kaos, dan permen, coklat, kue-kue. Wah, girang banget tuh si Hilda.

Selain berteman dengan siapa saja sesama anak-anak balita, dia juga sok akrab dengan orang yang lebih tua, dan orang tua sekalipun. Termasuk ibu, pak dhe, dan saudara-saudraku semuanya. Di Magelang, rumah kakak suami, terus di tempat saudara suami yang lainnya, juga begitu sikapnya. Makanya dia selalu bisa diterima di tempat manapun. Semua orang begitu perhatian

Hampir seminggu pulang mudik, akhirnya tiba saatnya kembali ke Jakarta. Aku hubungi ayah dan mamaknya Hilda yang sudah berada di Purworejo agar menjemput Hilda di Magelang. Hilda tidur pules waktu berpisah di terminal. Saat lagi istirahat di daerah Batang, telepon berbunyi. Terdengar tangisan anak di seberang handphone. Ampunn, Hilda. Dia teriak ibu ibu sambil nangis histeris. Kata mamaknya dia nggak mau ikut pulang ke rumah mbahnya di Purworejo, maunya pulangnya sama ibu, ibu. Ampun ngilu hati ini mendengar tangisannya.

Jam 5.45 kami sampai di jakarta. Hilda telepon lagi dengan suara tangisannya sambil memanggil-manggil, "Ibu! Ibu! Kok lama banget nyusulnya? Aku mau sama ibu! Huuuuu!"
Siang, dan malamnya dia terus menangis. Bahkan keesokan harinya begitu juga. Handphone nggak boleh mati dan nggak boleh lepas dari tangannya, terus menempel di telinganya,kata mamaknya.

Masih dua hari ini Hilda bertahan di kampung mamaknya. Karena nggak tahan dengan tangisan Hilda, mamaknya berusaha mencari tiket kereta untuk pulang lebih cepat ke jakarta. Tapi tiket selalu habis. Kasihan si Hilda. Anak siapa kamu ini? Anaknya ibu atau mamak? Omel mamaknya. "Aku anaknya ibu!" jawabnya dengan keras!

15 Juli 2011

Serpihan kasih sayang

Adi tertegun ketika mendengar kabar bahwa ia dan adiknya akan di asuh oleh Bu Asti, tetangganya. Ia sempat bergidik mengingat sikap galak dan keras wanita seumuran mamaknya itu. Dalam hati ia berontak keras. Tapi bisa apa dia? Saudara-saudara dari mamaknya seperti tak mau menampungnya. Mereka sudah repot dengan anak mereka masing-masing. Mbah Putrinya bukan tak mau merawatnya. Galih dan Galang, anak budenya yang di Kali Deres sudah ikut Mbah Putri itu sejak baru setahun umur mereka. Dan pasti mbah putri itu kerepotan kalau ketambahan merawat dirinya dan juga Anisa adiknya yang baru berumur dua tahun dan bandelnya minta ampun.

"Bu Asti itu orang yang baik. Kamu harus nurut sama dia, ya?" nasehat mbah putrinya bagitu Adi menanyakan kabar yang ia dengar."Dia kan teman mamak kamu? Teman baik. Nggak mungkin Bu Asti akan menyia-nyiakan kamu dan adikmu. Apalagi dia nggak punya anak. Dengan kehadiran kamu dan Nisa di rumahnya, dia dan suaminya pasti akan senang. Kamu akan disekolahkan tinggi sampai jadi sarjana nantinya. Dan kamu akan punya masa depan yang bagus seperti Pak Suryo. Jadi Pegawai Negri," tambah Mbah Putri dengan semangat dan penuh harap.

Dengan kalut, kesal dan setengah putus asa, Adi menolak keputusan itu. Alasannya ia tidak mau tinggal dengan orang lain. Ia mau tinggal dengan saudaranya. Budenya, buliknya atau mbah putrinya. Dengan Lik Pardi, Lik Gono, saudara-saudara ayahnya itu juga nggak apa-apa. Asal jangan di rumah Bu Asti!

Tapi bagaimanapun keras ia menolak, Mbah Putrinya tetap bersikukuh akan mengatur kapan ia akan berangkat ke Jakarta membawa dia ke rumah keluarga Bu Asti. Sementara Anisa sudah di bawa Bu Asti sejak mamaknya sakit keras di rumah sakit.

"Ini adalah wasiat mamak kamu. Kamu ingat kan mamak ngomong apa sebelum meninggal?" tegas mbahnya persis suara mamaknya ketika memarahinya.

Adi nampak terpekur. Dan matanya mulai merebak. Hatinya gusar sekaligus gelisah menanggung gundukan kesedihan karena ditinggal mamaknya dan sekarang ia melihat kenyataan bahwa dirinya akan tinggal bersama orang yang tidak disukainya dan akan membuatnya bergidik ngeri sepanjang hidupnya.

Yatim piatu. Beginilah nasibnya. Suatu ketika di tempat ia mengaji sering pak ustad menasehatinya agar ia mengasihi anak yatim. Dengan menyisihkan sebagian uang jajannya guna membantu anak-anak yatim. Tapi bagaimana dengan dirinya kini? Kenapa tidak ada yang mengasihinya? Mbah Putrinya? Saudara-saudara ayahnya dan saudara-saudara mamaknya bahkan membuangnya kepada orang lain.

Ia menangis sambil membekap wajahnya dengan bantal. Terlintas di pikirannya bahawa ia akan jadi gelandangan saja.Jadi pengamen jalanan atau jadi pengemis sekalipun! Ia ingin mati saja seperti mamak dan ayahnya. Karena percuma saja ia hidup. Ia ingin ikut dengan mereka ke alam baka. Itu akan lebih baik dari pada ia harus menanggung kesedihan sepanjang hidupnya. Ia makin terisak mengingat mamaknya. "Ya Allah, aku ingin mati seperti ayah dan mamak. Bisiknya ditengah tangisannya yang tersedu-sedu.

Beberapa saat ia menangis, akhirnya matanyapun terkatup kelelahan. Ia tertidur pulas. Dan dalam tidurnya ia bermimpi bertemu mamaknya. Seketika ia memeluk mamaknya dengan lekat, penuh kerinduan.

"Mamak. Mamak. Aku mau mati seperti Mamak saja," ujarnya sedih.

"Tidak, Nak. Kamu nggak boleh mati. Kamu harus jaga adikmu. Kamu juga harus sekolah yang pintar. Mamak akan menitipkan kamu sama bu Asti dan pak Suryo. Kamu tahu siapa mereka ,kan? Mereka teman baik Mamak. Mereka kini yang akan menggantikan Mamak dan Ayah setelah kami pergi. Mereka akan menyekolahkan kamu dan adikmu. Kamu harus belajar dengan giat dan dapat rinking seperti mas Galih dan mas Galang. Meski tidak tinggal bersama orang tua, mereka tetap bagus nilai rapotnya. Ya? Jadilah anak yang jujur. Itu pesan Mamak. Dan, meski bukan orang tua kandungmu, kamu tetap harus patuh dan berbakti pada bu Asti dan pak Suryo. Kamu dengar, Adi? Kamu denger kan pesan Mamak tadi?"

Adi terjaga. Tidak ada mamaknya di dekatnya. Ternyata ia hanya bermimpi bertemu mamaknya. Tapi kenapa ia seperti benar-benar mendengar suara mamaknya barusan. Di telinganya suara mamaknya terus terngiang. Dan telapak tangannya hingga lengannya benar-benar seperti benar bersentuhan dengan mamaknya waktu berpelukan tadi.

Ia harus menjaga Anisa, kata Mamak tadi. Ia juga harus belajar dan dapat rinking seperti Galih dan Galang. "Meski tidak tinggal dengan orang tua, mereka tetap bagus nilai rapotnya." Mana bisa ia disamakan dengan kedua anak kembar itu? Ia merenung dan merasa ciut hatinya.

Ia membayangkan kehidupan yang bakal dijalaninya. Hidup bersama bu Asti. Kepalanya tergeleng kuat. Ia takut. Teramat takut, bahkan sekedar membayangkan bertemu dan berhadapan muka setiap hari dengan wanita yang nyaris menangkap basah perbuatan bodohnya. Waktu itu ia melihat setumpuk uang di atas kulkas di rumah bu Asti. Niat jahatnya timbul manakala ia ingat ajakan Danu temannya untuk main Play Station di tempat langganan mereka. Dengan uang sebanyak itu, ia bisa main PS hingga sepuasnya.
Ia juga bisa menraktir Danu beli minuman dan makanan. Namun baru saja hendak mengulurkan tangannya ke atas kulkas, tiba-tiba bu Asti keluar dari arah kamar dan terperanjat melihat apayang hendak dilakukannya.

"Kalau sampai Mamakmu tahu kamu akan berbuat nekad dengan mengambil sesuatu yang bukan milikmu, mamakmu pasti tega memotong tanganmu demi menutup rasa malunya di hadapan bu Asti," ujat bu Asti tajam waktu itu.

Sejak itu Adi tak berani sekalipun lewat di depan rumah bu Asti. Kalau Mamaknya menyuruhnya pergi ke rumah bu Asti ia selalu memberi alasan untuk menolak suruhan mamaknya.

"Adi, jangan sering bergaul sama Danu. Dia itu bandel, suka berani sama orang tua, dan pernah ketahuan mencuri uang di toko milik pak Hadi. masih bagus dia itu nggak dilaporkan polisi. Kalau sampai dilaporkan ke kantor polisi, pasti dia sudah masuk penjara,"nasehat mamaknya juga waktu itu dan seingatnya ia tak pernah mengindahkan nasehat itu.

Kini ia tahu dan sadar kenapa selama ini mamaknya nggak suka ia bergaul sama Danu. Ternyata ia bukan teman yang baik. Ia selalu mengajaknya main PS, dan mempengaruhinya agar malas belajar. Belakangan juga ia baru tahu bahwa Danu pernah nggak naik kelas karena nilai rapotnya jeblok.

Adi mengehela nafas. Keinginannya untuk mati perlahan sirna dari hatinya. Ia ingat pesan mamaknya dalam mimpinya barusan. Ia harus menjaga Anisa. Ia tentu saja tak akan meninggalkan Anisa hidup sebatang kara dengan memilih menjadi gelandangan atau pengamen jalanan. Ia akan menemani satu-satunya saudara kandung yang dimilikinya, yaitu Anisa. Ia juga harus belajar keras dan harus jadi anak yang jujur. Akhirnya ia harus menghadapi bu Asti dengan segala resikonya. Ia akan minta maaf tentu saja dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Demi mamaknya dan demi cita-citanya.

02 Juli 2011

Maafkan Kemarahanku


Seperti aku sedang marah. Tapi apa yang aku jadikan obyek kemarahanku sebenarnya? Malu aku mengakuinya. Bahkan mengakuinya pada diriku sendiri. Apalagi di hadapan Allah SWT, Tuhan yang Maha mengetahui tiap-tiap kejadian di dalam liang hati setiap manusia.

Ya Allah, aku kehilangan sesuatu. Dan aku baru menyadarinya. Bagaimana aku mengenyahkan rasa ciut ini dari bilik pikiranku? Aku seperti nggak punya apa-apa lagi di dunia ini. Sesak dadaku menanggung hempasan ombak kegelisahanku. Setiap menit bahkan setiap detik, kala aku mengingat semua itu, setiap itu pula deraan cemas, dendam, marah, kesal menyatu dalam benakku. Rasanya aku tetap tak rela kehilangan. Tetap ingin mengincar sesuatu yang telah enyah dari diriku, dan berharap akan kembali merenggutnya.

Maafkan aku. Maafkan aku. Ajari aku untuk bisa menelaah arti sebuah keikhlasan. Semua di dunia ini adalah milikMu. Kalaupun sesuatu lepas dari tanganku, pasti kembalinya ke tempatMu. Ingin aku mempercayainya. Berkeras aku meyakinkannya. Namun tanpa campur tanganMu, Tuhan, hatiku tetap tak terbalik.

Maafkan aku. Maafkan aku.

27 Juni 2011

Manusia dan Rasa Kehilangan

Sesungguhnya segala yang kita miliki itu benar milik Allah semata. Tangan kita, kaki kita, mata kita, jantung kita dan seluruh anggota tubuh kita semua itu pinjaman dari Allah SWT. Termasuk juga suami kita, saudara kita, orang tua kita, anak-anak kita dan harta benda kita. Semua Allah yang punya. Kita hanya dititipi dan dipinjami untuk digunakan sebagai alat beribadah kepadaNya.

Sebuah berita tragis aku dengar suatu sore sepulang aku dari Gramedia. Adalah bu Titik yang tinggal di depan rumah. Menantu dari bu Titik meninggal seketika dalam sebuah kecelakaan di daerah Kebon Nanas, jakarta.Dia meninggalkan seorang anak yang berumur 2,5 tahun dan seorang istri yang sedang hamil empat bulan. Innalillahi wa innailaihi roji'un!

Memang butuh waktu untuk bisa menerima sebuah cobaan berat seperti itu. Apalagi sampai bisa berlapang dada dan ikhlas menerimanya. Sangat manusiawi jika keluarga besar bu Titik merasa syok dan menangis karena begitu merasa kehilangan orang yang begitu mereka cintai. Apalagi sang ibu yang merasa telah melahirkan dan membesarkannya dan juga istrinya yang saat ini tengah mengandung.

Waktu aku mendengar berita bapak meninggal,aku ingat saat itu aku tengah ujian semesteran perkuliahan. Meski sudah berlalu sekitar 18 tahun lamanya, namun memori tentang saat-saat terakhir bapak sangat membekas dalam hati. Bayangan bapak yang terbujur di sebuah dipan kayu dengan ditutup kain jarik, rumah yang penuh pelayat, penuh orang bertangisan dan kakak perempuanku yang sebentar-sebantar digotong karena pingsan, juga wajah ibu yang pucat serta kuyu dengan mata kosong dan tak lagi mampu mengeluarkan air mata.

Dan yang paling membuat syok adalah manakala melihat jenazah hendak dimasukkan ke dalam liang lahat. Hatiku hancur sehnacur-hancurnya. Aku tidak akan melihat bapak lagi setelah ini. Pikirku kalut dan tak sampai hati membiarkan bapak dibiarkan sendirian dalam ruang sempit di bawah sana. Saat adzan dikumandangkan, aku ingat dan sadar kekuasaan Tuhan. Tapi di manakah Dia? Tidakkah Dia kasihan melihat nasib kami setelah ini? Aku pasti berhenti kuliah. Tapi adik2ku? Bagaimana nasib mereka nanti? Lalu ibuku? Bagaimana dengan ibuku dengan ke delapan anak yang semuanya belum ada yang mapan. Masih bergantung pada orang tua? Bahkan yang paling kecilpun belun dikhitan?

Subhanallah wal hamdulillah. Maha Suci Allah dan segala puja dan puji hanya untuk Allah. Aku bagaikan terbangun dalam sebuah mimpi. Sambil mengusap mata yang bercucuran aku mengenang kejadian menyedihkan itu sekaligus menjadikan sebuah pelajaran berharga untuk kehidupanku sekarang ini. Allah selalu menyayangi hamba-hambanya. Dulu, kupikir bapak tidak bisa digantikan dengan apapun di dunia ini. Tapi Allah menunjukkan kekuasaannya dan mengikis habis keyakinan rapuhku tantang arti kehilangan orang yang kita cintai. Ketika kita kehilangan sesuatu ternyata Allah sudah mempersiapkan sesuatu pula untuk kita. Ternyata benar. Setelah itu beruntun kebahagiaan demi kebahagiaan menyibak tirai hitam rumah kami. Kakakku menikah, aku wisuda dan menikah, kakakku punya anak, adik-adiku beruntun wisauda dan menikah pula dan punya anak. Sekarang ibuku alhamdulillah masih diberi kesehatan. Beliau memiliki 8 cucu saat ini. Betapa ramainya rumah kami saat semuanya berkumpul. Aku selalu membayangkan kehadiran bapak bersama kami saat ini.

Terima masih, Ya Allah atas pelajaran yang Engkau berikan padaku, pada kami. Berikan tempat terbaik bagi bapak kami di sisiMu. Maafkan semua kesalahannya dan terimalah semua amal kebaikannya. Bagaimananapun bapak adalah laki-laki yang yang begitu menyayangi istri dan anak-anaknya. Laki-laki yang bertanggung jawab dan setiap butir keringatnya semoga Allah menjadikan saksi akan kegigihannya dalam memperjuangkan anak-anaknya dengan rezeki halal unuk kehidupan masa depan kami yang lebih baik. Amin.

21 Mei 2011

Serial : DANUNG #1

Nama aslinya Hilda Nur Azizah. Nama panggilannya Hilda. Tapi dia sering menyebut namanya sendiri Hilda Nur. Karena cedal, ia menyebutnya Hida Nung. Atau disingkat menjadi Danung. Umurnya 28 bulan atau 2 tahun 4 bulan. Anaknya lucu menggemaskan. Pintar, cerdik dan bawelnya minta ampun. Semua hal ditanyakan. Semua hal di bahas hingga ke titik yang jelas menurut penalaran bocah seumurannya.

Tetangga dari ujung ke ujung selalu mengodanya. Bocah yang beberapa tahun diatasnya, anak remaja, orang tua, juga kakek nenek. Semua suka gemas padanya. Setiap kali melihatnya selalu mengejek, mengomentari, atau sekedar menyapanya.Dan Danung sudah pasti akan menyahuti ucapan mereka.

"Hilda jelek! Belum mandi ya? Pasti bau asem!" seloroh nenek Titik di depan warung ketika Danung dan ibunya pergi ke warung membeli telor.

"Nenek Titik kali, bau acem, belum mandi. Aku sudah mandi. Nih, cium, kalo nggak pelcaya. Udah wangi,tau!" cetusnya sambil menyodorkan wajahnya.

Nenek Titik tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mencium pipinya yang wangi dan bertaburan bedak talk. "Oh, iya. Sudah mandi, lho! Wangi!"

"Makanya mandi sana! Nanti nggak diajak jalan-jalan,lho!"

Dia sudah bisa menyanyikan sekitar 10 lagu. Di antaranya Cicak-cicak di dinding, Pelangi-pelangi, Bintang kecil, Balonku, Naik kereta api, Selamat ulang tahun, Satu-satu, Pok ame-ame, Abang tukang bakso, juga Kuku kukuruyuk.

Suatu sore ia sedang mengamati ayam dalam kandang milik Alifa, temannya. Tanpa sadar mulutnya sayup-sayup menyanyikan lagu yang diajarkan ibunya,

"Kuku kukuluyuk, begitulah bunyinya
Kakinya beltanduk, hewan apa namanya" lalu dia melanjutkan,

"Embek, embek, embek, begitulah bunyinya
Tanduk di kepala hewan apa namanya"

"Hilda, udah mandi kok nggak pake sendal? Pakai sendalnya!" perintah ibunya tiba-tiba nongol di luar pintu rumah. Rumah dia dan Alifa memang berhadap-hadapan.

"Aku nggak mau pakai sandal," tolaknya.

Ibunya mendekatinya sambil memakaikan sandal di kakinya." Kenapa nggak pakai sendal? Mau kakinya ada tanduknya kayak ayam? Tuh, lihat kaki ayam ada tanduknya.HHiiih!"

"Makanya, ayam,kamu pake sendal. Bial kakinya nggak ada tanduknya!" katanya pada si ayam-ayam itu.

Ketika ibunya masuk ke dalam rumah, sepintas matanya menangkap kaki ibunya yang nggak pake sendal. "Ibu! Ibu nggak pake sendal. Nanti kakinya kayak ayam, lho! Ada tanduknya." jari telunjuknya teracung seraya memberi peringatan.

Ibunya melongok kembali. "Iya, Ibu mau ambil sandal, nih!"

Tanpa menggubris ibunya lagi ia kembali menatap ayam-ayam di dalam kandang.

"Ibu,Ibu, ibu, begitulah bunyinya
Kakinya bertanduk hewan apa namanya"

Kembali ia bernyanyi. Entah gimana reaksi ibunya kalau mendengar lagunya itu.

@@@

19 Mei 2011

Akan tiba saatnya....

Akan tiba saatnya aku akan berhenti beraktifitas. Berhenti menulis, berhenti main facebook, berhenti melakukan kegiatan di depan laptop. Aku juga pada saatnya nanti akan berhenti ke Tanah Abang. Berhenti pula berjualan di Pulomas. Feelingku makin kuat mengatakan bahwa akan semakin dekat saat-saat aku akan tanpa daya menghadapi kehidupan. Terkapar di ranjang putih berseprei putih, dengan luka sayat bekas pisau bedah para dokter.

Oh Tuhan, betapa aku takut membayangkan semua itu bakal melintas di dalam kehidupanku. Kesakitan, dan kesakitan itu yang menghantuku. Seberapa sakitkah? Kadang aku mencoba mengukur. Tapi aku hempas kembali sebab rasanya tidak hanya bagian kulit saja yang bakal disayat. Tapi ulu hati.

Dalam ketidaksempurnaanku, Tuhan, maafkan aku jika nanti aku mengembalikan tubuhku yang aku pinjam dariMU dalam keadaan yang tidak sempurna. Aku kurang bisa menjaganya. Dan aku membiarkannya sakit. Maaf, maaf, Tuhan.

10 Mei 2011

Gerimis

Gerimis masih tersisa di luar sana.

Nyanyiannya begitu indah merasuk di dalam telinga.

Iramanya syahdu, indah, sangat menentramkan kalbu.

Tiap tetes adalah nada tersendiri.

Dan ribuan bahkan jutaan nada menyatu dalam lagu semesta yang membuai tiap makhluk di bumi.

Adakah yang lebih merdu dari nyanyian gerimis?

Inspirasi, datanglah kepadaku !

Aduh, kapan aku bisa nulis ya? Kok susah banget konsen? Susah banget menemukan kata-kata yang pas, yang cocok, yang bagus,yang puitis, pokoknya yang menyentuh. Justru ketika perangkat sudah ada dalam genggaman, mosok nggak ada tulisan bagus yang tercipta?

Ide banyak sekali tersumpal di dalam kepala. Namun mengeluarkannya kok susah sekali? Ada apa dengan diriku? Kenapa menulis seperti melakukan hal yang berat? Bukankah dulu menulis adalah hidupku? Menulis adalah nafasku. Menulis adalah bagian tak terpisah dari diriku?

Ayo ! Ayo! Ayo! Inspirasi datanglah, datanglah. Aku butuh bantuanmu mengatasi kebuntuan otakku merumuskan sebuah kalimat indah.

28 April 2011

SENANDUNG PUCUK - PUCUK PINUS

Lagu Cipt. Ebiet G. Ade

Bila kita tak segan mendaki
Lebih jauh lagi
Kita akan segera rasakan
Betapa bersahabatnya alam

Setiap sudut seperti menyapa
Bahkan teramat akrab
Seperti kita turut membangun
Seperti kita yang merencanakan

Pucuk-pucuk pinus seperti berebut
Bergesek berdesak berjalin tangan
Ranting kering luruh adalah nyanyian
Selaksa puisi bergayut di dahan
Leburlah di sini
Kini tinggal menunggu datang hembusan angin
Ohh, sempurnalah segalanya

Bila kita tak segan menyatu
Lebih erat lagi
Kita akan segera percaya
Betapa bersahajnya alam

Lumpur kering adalah pedoman
Untuk temukan jalan
Dan butir embun adalah lentera
Dalam segenapa kegelapan

25 April 2011

I I'VE BEEN AWAY TO LOONG

How can I say to you
I love somebody new
You were so good to me always
And when I see your eyes
I can't go on with lies
It breaks your heart
But I just can't hide, oh no

I, I've been away too long
Now I just can't go on
I've been away to loong
......



Lagu itu mengingatkanku saat malam inaugurasi pada awal perkuliahan dulu. Hmm, sudah berapa tahun yang lalu ya? Dua puluh dua tahun! Seorang penyanyi yang berdiri di panggung, Iksan namanya, kuingat satu angkatan di atasku, menyanyikannya dengan penuh perasaan. Gemerlap panggung, sorak sorai, hingar bingar penonton yang penuh sesak memadati gedung pertunjukan sugguh merupakan suasana yang tak terlupakan.

Setelah dua puluh dua tahun. Beberapa hari ini aku mendengar sayup-sayup lagu itu disetel suamiku di ruang depan, biasanya dia sambil mengerjakan sesuatu di ruangan itu. Nyolder, atau menyervis barang-barang elektronik, atau membongkar mesin atau spare part mobil. Dia membeli kaset bajakan itu di Poncol, katanya sepuluh ribu tiga. He he he. Barang yang tergolong rongsokan tapi lumayan juga buat dijadikan hiburan. Malah kaset tape-pun dia beli juga yang ada lagi I I"ve been away to loong itu Jadi ketika di mobil pun aku mendengarkan juga lagu itu.


Aku tahu kenangan itu takkan pernah kembali. Tapi setidaknya aku pernah memilikinya. Aku pernah menikmatinya. Kenangan itu akan tetap hidup dalam pikiranku, dalam hatiku dan bahkan menjadi inspirasi dalam tulisanku. Semoga aku bisa menjadikannya dalam bentuk novelku kelak. Amin ya Robbal alamin.

HARAP


Subhanallah walhamdulillah, akhirnya aku mendapat tempat untuk berjualan. Namanya pak Akri, orang itulah yang telah berjasa memberikan aku tempat untuk berdagang di arena pasar malam yang berlokasi di Kemayoran. Setelah berjuang selama dua minggu akhirnya aku bisa juga membantu suami nantinya untuk menambah penghasilan. Anakku empat. Semuanya perempuan. Yang pertama kelas lima, yang kedua kelas satu dan yang ketiga dan keempat kembar, umurnya hampir empat tahun. Bagaimana aku bisa berdiam diri melihat suami pontang panting cari duit sendirian, ( dengan mengojek, jadi tukang parkir di sebuah mini market) sementara biaya anak-anak yang terasa menyesakkan dada setiap harinya. Yang uang sekolah, buku, seragam, belum jajan mereka setiap harinya.

Oh, ya Allah, hanya kepadaMU aku berharap. Hanya kepadaMU aku mohon petunjuk. Apa yang sekiranya bisa kulakukan untuk membantu suamiku, untuk sekedar meringankan bebannya. Juga untuk anak-anakku, dalam waktu dekat ini maupun dalam hari-hari panjang ke depan? Beberapa kali aku ikut membantu tetangga berjualan di pasar, aku sering kepikiran untuk bisa berdagang pula seperti tetanggaku itu. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana memulainya? Aduh, pakai duit. Mau dapat duit dari mana? Modalnya bisa sekitar lima ratus ribu atau satu juta saja. Yach, satu juta, uang dari mana? Ya Allah, bukankah Engkau Maha Kaya? Bisakah Engkau pinjamkan aku uang satu juta atau lima ratus ribu saja. Nanti kalau usahaku sudah jalan, aku akan menggantinya. Karena untuk mencari pinjaman ke tetangga sudah susah sekali. Ada beberapa pinjaman yang belum mampu kubayar, mosok aku sudah mau minjam lagi? Iya, kalau nanti usahaku langsung jalan. Kalau tidak? atau misalnya agak lama berjalannya? Ohh, pinjami aku uang ya Allah untuk modal jualan.

Selintas terpikir dalam benakku akan menjual motor saja. Tapi bu Sri, tetangga yang sering aku ikut dia membantu berjualan di pasar atau dalam sebuah bazar-bazar mnegatakan suatu ketika. "Kamu jangan menjual motormu. Sayang. Kalau nanti kamu jadi jualan, motor itu buat kakimu. Jualan ke sana sini kalau pakai motor sendiri kan lumayan? Paling modal bensin seliter dua liter. Dari pada kamu naik bajaj atau ojek, kan keluar ongkos? Iya kalau jualan laku. Kalau enggak?"

Benar juga kata bu Sri. Aku berpikir panjang jadinya. Katanya mendingan cari pinjaman ke bank dengan jaminan BPKB motor. Hari-hariku mulai bersinar dengan rencana yang sudah nampak di depan mata. Mungkin dari situlah Allah akan memberikan pinjaman uang padaku untuk modal jualan.

Tapi halangan datang lagi begitu aku dan suamiku datang ke sebuah bank. ternyata saratnya berbelit-belit. Salah satu syarat yang tak bisa aku penuhi adalah aku harus punya usaha yang berjalan sekurang-kurangnya tiga bulan lamanya. Waduh, macet lagi. Suram. Gelap bahkan pandanganku. Mana mungkin? Justru aku mengajukan pinjaman untuk memulai usaha!

"Coba kamu ambil barang dari orang lain. Kamu pinjam sehari-dua hari untuk jualan. Kalau mau bawa saja barang-barang punyaku. Nanti aku beri harga khusus. Syukur kamu bisa ngejual lebih dari aku. Kan, lumayan untungnya. kamu nggak perlu khawatir barang nggak laku. Toh,kamu bisa kembalikan lagi?"

Oke, aku langsung mengiyakan. Sampai di sini timbul pertanyaan. Lalu aku berjualan di mana? Siang malam sehabis sholat, tak habis-habisnya aku minta pertolongan Allah agar diberikan tempat yang bagus untuk berjualan. Menurut cerita yang kudengar di kemayoran tempat yang bagus untuk jualan. Tapi susah sekali mendapat tempat dan bayarnya mahal. Tapi tidak ada yang mustahil jika Allah memang menghendaki. Begitu aku menyemangati diriku sendiri.

Bersama suami aku ke tempat lokasi pasar malam yang menampung seratusan pedagang kaki lima di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Kami bertemu dengan salah seorang pengelolanya dan memberi uang panjer agar bisa segera di beri tempat. Katanya hari Jum'at suruh datang. Begitu datang, ternyata tempat full. Tak ada sela sedikitpun. Aku bersabar menunggu Jum'at depan. Jum'at berikutnya aku datang, suamiku memberikan kembali uang panjeran yang lebih gede. Katanya bisa langsung masuk hari Senin besok.

Hampir putus asa aku menunggu waktu. Dan pengelola di tempat jualan itu kembali menjanjikan kembali untuk hari Jum,at. Oh ya Allah. Sabarkan hatiku. Sehari Sebelumnya pak Akri, salah seorang pengelola pasar Kemayoran menelpon suamiku katanya tempat sudah ada. Aku ke bu Sri untuk meminjam barang dagangan berupa jilbab dengan aneka model dan warna. Aku boleh membawa sebanyak yang kusuka dan mencatat harga-harganya. Karena beberapa kali aku ikut membantu berjualan, sedikit banyak aku hapal harga-harga jilbab itu.

Dan hari yang kutunggu tiba. Aku diantar suamiku ke tempat lokasi berjualan yang sore itu panas matahari teras masih menyengat hingga ke ubun-ubun. Tidak ada pepohonan di sekitarku. Tapi aku bertahan. Aku pantang mengeluh, apalagi mengingat banyaknya langganan yang bakal mengitariku seperti yang kulihat ketika bu Sri ketika berjualan.

Sejam kemudian dagangan telah siap di atas meja triplek. Belum ada yang melirik. Tenang. Mungkin beberapa jam lagi akan datang pelanggan baruku. Matahari kurasakan mulai luruh ke arah barat. Sejuk, tapi kok agak dingin. UNtung aku sudah sholat asar tadi.Entah bagaimana caranya aku sholat magrib nanti. Ada masjid besar, mungkin aku akan bergantian dengan suamiku untuk sholat. Entahlah, aku terlintas bayangan anak-anak di rumah bersama ibuku. Betapa ributnya mereka ketika mendapati aku tak ada di rumah. Bagaimana makan mereka, sholat mereka dan ngaji mereka. Tentu saja diliburkan hari ini. Karena guru mereka yaitu ayah mereka sedang menunggui ibunya berjualan.

Maaf ya Allah, bisakah aku mengganti amalanku untuk sholat di rumah berjama'ah bersama suami dan anak-anakku dengan amalan yang lainnya? Hanya tiga hari dalam seminggu. Selebihnya akan berjalan seperti biasa. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, aku berjanji akan melakukan tugasku di rumah sebagimana mestinya. Toh, suamiku mengijinkan aku melakukan hal seperti ini. Lagi pula aku tidak meninggalkan sholet sekalipun. Aku hanya sholat maghrib sendiri, tidak berjam'ah. Begitu pula suamiku. Karena kami harus bergantian menunggu dagangan.

Ternyata redup yang menaungiku berubah menjadi awan gelap yang menakutkan. Meski sudah lewat maghrib, namun hitamnya langit yang tak menampakkan bintang secuilpun membuat gundah hatiku.Jangan-jangan akan hujan seperti hari- hari kemarin.Batinku. Dan belum juga berhenti hatiku berguman. Setitik air dari langit mengirim pesan dan seakan menegaskan tentang kekhawatiranku. Aku masih berharap titik air yang jatuh kepadaku hanya embun yang ditiupkan angin ke arahku. Namun gerimis yang turun satu satu semakin menambah risau hatiku. Kiranya memang bukan kiriman embun yang terbawa angin. bahkan angin kencang menghembus marah ke arah jalanan yang dipenuhi pengunjung maupun pedagang kaki lima di sekitar situ.

Dan selang beberapa menit sebelum aku selasai membenahi barang-barangku, guyuran hujan bercampur angin datang menimpaku. Kutinggal mejaku menuju ke tempat berteduh seperti orang-orang lainnya. Untung tadi sudah laku dua buah. Minimal aku sudah membuka penglaris. Mudah-mudahan hujan segera reda. Dan aku segera bisa membuka daganganku kembali. Namun harapanku tinggallah harapan. Hujan makan deras mendera tiap benda yang ada di tempat yang tak terlindungi. Badanku mulai basah kena tampias air hujan. Dan angin yang datang begitu menghujam hingga ke tulang belakangku. Aku bertahan dan terus bertahan.

Dalam keadaan dingin, perih di lambung karena belum makan dan juga kengerian menghadapi hujan dan angin serta geledek, aku mundur dalam banyak langkah. Aku tidak mampu melakukan apapun. Aku sakit. Limbung dan jatuh terkulai di tempat tidur pada keesokan harinya.

"Gimana apa kamu hari ini mau jualan?" tanya suamiku.

"Apa kamu mengijinkan aku berjualan lagi?" tanyaku berbalik dengan nada lemah dan mengharap jawaban iya darinya.

"Aku sedih melihat kamu sakit begitu," sahutnya.

"Aku nggak apa-apa. Aku mau istirahan sahari ini. Nanti juga akan baik. Besok aku mau jualan lagi. Itu juga kalau kamu mengijinkan."

"Kita akan cari tempat agar bisa berjualan pagi-pagi, seperti bu Sri. Kalau malam hari, resiko."

"Iya, nanti. Masalahnya kita sudah bayar ke pak Akri untuk berjualan tiga hari ini. Sayang kalau uangnya hangus. Sambil mencari tempat lain, biarkan aku jualan besok!" pintaku.

Suamiku mengangguk tanpa terlihat anggukannya. 'Ya udah, aku mau ngojeg dulu. Sudah siang,"

Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar. Ya Allah, jaga suamiku. Lindungi dia hal-hal yang mencelakainya. sehatkan badannya agar dia tetap bisa mencari nafkah. Badanku kenapa lemah sekali. Entah sudah berapa kali aku buang-buang air. Begitu keluar dari WC, aku kembali nggelosot di atas kasur. Untung ada ibuku yang mau merawat anak-anakku sementara aku sakit.

Oh,ya Allah. Kasihanilah aku. Kasihanilah suamiku. Kasihanilah anak-anakku. Kasihanilah kami semua. Aku selalu memikirkan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka kelak. Akankah mereka sesusah orang tuanya? Perlahan kuusap mataku. Aku kembali bangkit dari tempat tidur ketika perutku mulai terasa mulas kembali.

@@@

Maaf Tuhan !

Astaghfirullah hal adhim. Perutku kenyang sekali. Kayaknya over weight. Aku makan apa tadi, ya? Barusan hanya menggado cap cai doang. Tapi sebelumnya? Iya. Nasi, nambah. Plus cap cai yang baru mateng. Jadah goreng, pepaya, pisang Lampung, lanthing, peyek kacang. Ya, Allah, begitu banyaknya yang telah kumasukkan ke dalam perutku sesore ini.

Maaf ya Allah. Maafkan atas kerakusanku hari ini.

Pantas saja aku jadi tak bertenaga. Loyo, ngantuk dan pengin molor di kasur.

uuuuhhh !

Memang nggak ada yang bisa memaksa untuk bisa menulis. Apalagi menulis dengan tulisan yang bagus. Mataku. Otakku. Tenagaku. Ohh, lesu dan sangat tidak bersemangat.

Kuputuskan untuk pergi tidur saja. Besok pagi-pagi sekali mudah-mudahan bisa bangun dalam keadaan segar bugar dan semangat untuk menulis.

19 April 2011

Lomba / Peragaan baju pengantin dari bahan tissue


Waktu itu aku mengikuti lomba UPPKS (Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga) yang diselenggarakan oleh BKKBN Pusat. Lomba yang dihadiri oleh perwakilan seluruh propinsi ( 33 propinsi ) se-Indonesia itu berlangsung selama 5 hari di hotel Aryaduta, Jakarta. Kebetulan aku waktu itu mewakili DKI dan mengangkat produk limbah handuk sebagai bahan untuk mengikuti lomba tersebut.

Ada yang menarik dari lomba tersebut, selain adanya tanya jawab khusus seputar kelompok serta kegiatan dalam UPPKS, yaitu ada kegiatan lomba membuat baju pengantin dari tissue gulung. Tissue yang disulap sedemikian rupa menjadi gaun yang indah dan langsung dilekatkan di badanku. Satu kelompokku terdiri 11 orang dan waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas itu hanya satu jam. Lihat saja penampilanku. Tidak menyangka apa yang aku kenakan adalah dari bahan tissue,kan?





Perancangku waktu itu peserta lomba dari Palu, namanya bu Endang. Dia orangnya kreatif banget. Dan cepat sekali memimpin kelompok agar bisa segera menyelesaikan baju pengantin tersebut. Begitu selesai, peragaan pun dilaksanakan. Dan di akhir acara, diumumkan pemenangnya. Horeee, aku dapat juara II. Alasannya kata sang Juri, aku terlalu fasih melenggak-lenggokkan badan sehingga seperti gaya peragawati beneran. Seharusnya sih, biasa-biasa saja, sebagai mana layaknya peragawati amatiran. He he he he....

12 April 2011

Anak angkat

Rasanya tidak mungkin Ana menyampaikan hal itu pada Saskia. Ia masih terlalu kecil. Baru tujuh tahun. Beberapa tahun lagi atau ketika ia menginjak bangku SMU, mungkin di seusia itu ia sudah kuat menerima kenyataan bahwa dia ternyata hanyalah anak angkat. Tapi telpon dari Rima, teman sekolahnya, juga ibu kandung Saskia menyadarkannya bahwa ia harus mengembalikan gadis kesayangannya itu kepada orang yang telah melahirkannya.

Memang tidak ada perjanjian apapun antara dia dan Rima, berkaitan dengan Saskia. Waktu Rima dan suaminya yang hampir bersamaan kena PHK, Ana membawa anak terkecil mereka untuk dirawatnya. Bocah tiga tahun itu begitu penurut dan tak pernah rewel selama dalam asuhan Ana dan suaminya. Dan selama tiga tahun ini ia mengenal Ana dan Budi sebagai orang tuanya, meski di luar sana ada orang lain yang mesti ia panggil pula dengan sebutan ibu dan bapak.

"Aku tidak akan mengakui dia sebagai anakku. Suatu ketika aku pasti akan memberitahu bahwa kamulah ibu kandungnya. Aku hanya meminjamnya untuk menemaniku selama mas Budi dinas ke luar kota. Dan tentu saja aku akan merawatnya selama ia bersamaku. Kalau suatu saat kamu mau mengambilnya, ambil saja. Atau aku akan mengantarnya ke rumahmu," kata Ana waktu itu.

Rima tidak keberatan sama sekali Saskia dibawa orang lain. Apa lagi oleh Ana. Ana adalah teman baiknya, bahkan sahabat dekatnya. Ia bahkan waktu itu berpikir mungkin lebih baik kalau Saskia bersama orang lain, asalkan dia bisa sekolah dan punya masa depan. Begitu PHK, susah sekali mencari pekerjaan yang baru. Beberapa kali mencoba usaha, tidak ada yang berhasil. Untuk kmencukupi keperluan sehari-hari, ia mengambil pekerjaan apa saja. membantu kakak menangani pembukuan di toko sembakonya, juga menjadi tukang masak sekaligus menjaga kantin punya orang lain. Suaminya? Sama. Kerja serabuatan. Untuk keperluan sehari-hari tiga anaknya LIna, Dio dan Fara saja sudah terasa makin berat dari hari ke hari.

Demi ingatannya, bahwa suatu saat ia harus mengembalikan Saskia dalam keadaan yang sebaik-baiknya, Ana tidak pernah bersikap keras pada anak itu. Ia bahkan selalu bertutur dengan lemah lembut, dan hanya melotot jika menyadari sikap atau kelakuan Saskia yang sudah keterlaluan. Menjewer, mencubit, apalagi memukul, belum pernah sekalipun ia melakukannya. Ia menyayanginya dengan tulus dan selalu mengajarkan kebaikan serta menunjukkan sikap tanggung jawab dalam segala hal, termasuk urusan dalam hubungannya dengan Tuhan, Sang Penguasa alam dan seisinya.

Kiranya tugas untuk merawat anak itu akan selesai. Oh, tak sanggup Ana membayangkan untuk menyerahkan buah hatinya itu pada orang tua kandungnya. Seperti ketika ia harus menyerahkan rahimnya untuk diangkat oleh dokter bedah akibat tumor rahim yang menjangkitinya. Ya, seperti itulah yang akan di rasakannya nanti. Ia kembali kehilangan dengan sesuatu yang bahkan telah melekat dalam dirinya.

Ana masuk ke kamar bercat pink lembut itu dan mendapati gadis belianya itu tengah diam menekuni pe-ernya. Sejak dulu Saskia selalu tekun belajar. Ia tidak akan melakukan hal apapun sebelum selesai mengerjakan tugas dari sekolah. Dan nilai-niali rapotnya memang selalu membanggakan.

Namun sebentar kemudian Ana kembali keluar kamar. Ia tak mungkin mengganggunya dengan cerita yang akan disampaikannya. Ia juga tak sanggup mengatakannya. Di ruang tengah ia duduk di bangku sofa, menjejeri suaminya yang terbungkam sejak pulang dari kantor sore tadi. Dalam beberapa menit, keduanya diam dalam kebisuan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kita ambil anak dari Panti Asuhan. Yang jelas-jelas nggak punya orang tua," suara Budi terdengar setengah menggumam.

Ana mengiyakan tanpa mengangguk, tanpa membuka mulut. Dengan lelah ia merebahkan kepalanya ke bahu suaminya. Ia tidak tahu apa bisa ia menyayangi anak lain seperti ia menyayangi Saskia. Meski ia sadar, ada Saskia atau tidak, kehidupan akan terus berjalan. Tidak akan pernah terhenti walau satu detik pun.

"Yaa, kita ambil anak yatim piatu," Budi mengulang kalimatnya sambil mengangguk-angguk. "Asal kita ikhlas merawat dan mendidik, insya Allah akan jadi pahala untuk bekal kita di akherat," Ia merangkul istrinya dan memberinya ciuman mesra di rambutnya.

Tiba-tiba saja Saskia sudah berada di ruangan itu. "Iihhh, papa sama mama ini pacaran terus, deh," cetusnya.

"Hei, Sayang, siapa yang pacaran sih?" kilah Budi sambil mengulurkan tangannya, meraih tangan mungil itu untuk dibawa ke dalam dekapannya. Ana menggeser pantatnya untuk memberi tempat Saskia yang memaksa menyelip di antara dia dan suaminya. Kalau sudah seperti itu, suasana ruangan tengah itu akan hangat oleh ocehan, cetusan, serta teriakan manja khas anak-anak seusia Saskia.

"Ma, aku besok pagi mau rambutku dikepang dua ya?" pintanya.

"Iya, Sayang," angguk Ana mengiyakan.

"Ihh, apa rambutmu masih kutuan, Saskia? Wah, papa pasti ketularan, nih," cetus Budi menggodanya sambil berusaha menjauhkan diri darinya.

"Apaan Papa, sih? Orang sudah nggak ada kutunya. Kemarin Mama sudah membawaku ke salon. Terus rambutku sudah dikramasin dan diobatin." sahutnya cepat.

"Makanya jangan main sama anak yang rambutnya kutuan!" Dengan gemas Budi mencubit hidungnya.

"Iya, gara-gara si Emi rambutnya kutuan. Aku jadi ketularan."

Pada Jum'at sore, sambil menyisir rambut Saskia yang sudah memanjang hingga ke bahu, akhirnya Ana membeberkan rahasianya. Hari Sabtu atau Minggunya, Ana sudah berjanji pada Rima akan mengantar Saskia ke rumahnya. Wajah polos itu terlihat bingung. Perlahan dan dengan sangat hati-hati Ana menjelaskan duduk persoalannya.Bahasa yang digunakannya juga yang sekiranya mudah sekali dicerna dan dipahami anak seusia Saskia. Namun begitu tetap saja Saskia bingung. Entah apa yang terlintas dipikiran kanak-kanaknya mengetahui kenyataan yang lain dari yang telah diterimanya selama ini.

Ia terdiam begitu menyadari sesuatu. Matanya yang biasa ceria itu luruh, dan nampak murung.Jelas ia masih bingung. Ana ingin segera meraihnya, namun anak ia menolak dan menjauh duduknya dari dirinya. Tak berapa lama, ia pamit mau ke kamar.

Meski merasakan sedikit rasa lega, namun Ana merasakan jauh ada yang hilang dalam dirinya. Ya, ia akan segera kehilangan anak kesayangannya. Meski bukan lahir dari rahimnya, ia bersumpah demi Allah, ia sungguh sayang pada anak itu, dan berjanji akan mendidiknya dengan sebaik-baiknya. Tapi apa boleh buat. Anak itu harus kembali ke tempat asalnya. Berada dekat dengan orang tua dan saudara-saudara kandungnya dalam sehari atau dua hari ini.

@@@

Sepertinya masih tengah malam. Entah jam berapa. Baru beberapa saat Ana memejamkan mata ketika mendengar handphone-nya meraung-raung di telinganya. Ia meraba-raba sekitar bantalnya masih dengan mata terpejam. Ketika akhirnya tangannya menemukan benda kecil mungil di bawah bantal, ia mengangkat di atas wajahnya, memeriksa layar benda itu dengan mata mengerjap-ngerjap melawan kantuk.

"Sasi?" Ia sontak kaget dan terjaga.Matanya terbuka lebar dan kantuknya lenyap seketika. Reflek ia memencet salah satu tombol handphone agar bisa terhubung dengan si penelpon.

"Mama, aku mau pulang saja," sahut dari seberang.

"Kenapa, Sayang?"

"Aku mau pulang," dan isak tangisnyapun menderu.

"Sasi..."

"Jemput aku, Ma. Aku kangen sama mama. Aku mau pulang ke rumah mama saja."

Ana tidak bergeming. Bahkan ketika hari berikutnya, dan hari berikutnya kembali Saskia menelpon. Apa kata Rima jika ia datang menjemput Sasi? Oh, tidak. Ia menggeleng-geleng. Ia mengingat keadaan Rima dan suaminya yang kini sudah mulai lancar usaha toko sembakonya. Dan itu yang membuat ia tak mau mengusik keberadaan Saskia di rumahnya. Rumah orang tua kandungnya.

Seseorang mengetuk pintu rumah ketika Ana dan suaminya hendak pergi ke sebuah panti asuhan. Ana membuka pintu dan kaget mendapati sosok di hadapannya. Saskia. Dan berdiri di sebelahnya, Rima, ibunya. Belum habis ketertegunannya ketika melihat gadis kecil itu bergegas menghampirinya. Tangan mungilnya meraih jemarinya, dan menciumnya.

"Mama, aku pulang. Lihat, siapa yang mengantarku kemari!" ucapnya sambil berdiri di sisinya.

"Hei, Rim! Masuk, yuk!" ucapnya pula begitu tersadar.

Rima hanya mengangguk, sembari tersenyum. "Kebetulan aku masih ada perlu. Aku...aku titip Saskia. Kalau kamu tidak kebaratan, biar dia tinggal di sini bersama kalian."

"Iya. Aku akan senang sekali. Aku dan mas Budi akan selalu menjaganya."

"Oke, kalau begitu aku pergi dulu. Sasi, baik-baik kamu di sini, ya? Ingat, jangan nyusahin mama Ana,oke?"

"Ya."

Ana menutup pintu dan mengajak Saskia masuk ke dalam rumah.

@@@@

03 April 2011

jika aku sakit

Jika aku sakit, aku merasa Allah cemburu dengan apa yang kulakukan dan waktu yang kuhabiskan melakukan sesuatu itu. Dan aku tahu, Allah berhak merampas apa-apa yang menjadi milikku, bahkan apa-apa yang melekat dalam diriku. Subhalallah wal hamdulillah. Terima kasih ya Allah, aku sudah sembuh dari sakitku. Maaf, aku meminjam waktuMu untuk hal-hal yang membuatku menjauh dariMu

25 Maret 2011

Apa arti sebuah lagu ....

Bagiku sebuah lagu berarti seseorang, suatu tempat tertentu dan suatu peristiwa. Dan bagiku lagu-lagu iwan Fals adalah suatu ruangan yang sempit, pengap, penuh oleh asap rokok dan barang serta peralatan naik gunung. Di dalamnya ada gudel (anak kerbau), bajul (buaya), jangkrik, Pitik (ayam) dan sebangsanya. Sehari-harinya di dalam ruangan itu hanya berisi gurauan, derai tawa, ocehan, umpatan, teriakan, namun tak jarang suara nyanyian berramai-ramai dengan iringan gitar terdengar pula. Tidak ada susah di sana. Bahkan hati dalam keadaan gundah gulanapun bisa berangsur cerah ceria begitu masuk ke dalam ruangan sekretariat pecinta alam (DIMPA).

Suatu ketika aku mendengar lagu Iwan Fals yang disetel anak-anak yang nongkrong di dekat rumah. Aku tidak tahan untuk melongok keluar rumah. Siapa sih yang nyetel iwan Fals itu? Aku mendapati sekelompok anak muda yang nongkrong, ngobrol seruh,sambil ngerokok dan minum minuman berwarna hitam dalam gelas beling. Kopi, atau minuman tertentu? Aku sempat menbak-nebak. Tidak ada gudel, bajul, gepeng,pitik, jangkrik atau siapapun. Ada seseorang di antara mereka yang gondrong dengan kemeja kotak-kotak dari bahan flanel. Bukan. Bukan anak-anak Dimpa. Dia namanya Waryo ternyata. Dia juga suka naik gunung, katanya.

"Kumenanti seorang kekasih
Yang tercantik yang datang di hari ini
Adakah dia kan slalu setia
Bersanding hidup penuh pesona
Harapanku

Jangan kau tak menepati janji
Datanglah dengan kasihmu
Andai kau tak datang kali ini
Musnah harapanku "


*) Terima kasih yang tak terhingga untuk panitia DIKLATSAR DIMPA yang telah meluluskan aku menjadi anggota DIMPA.

14 Maret 2011

Terima kasih Ya Allah

Terima kasih atas waktu yang telah diberikan pada kami (Aku dan suamiku). Sepuluh tahun kami menjalaninya. Dengan tangis duka dan bahagia.

Ya Allah jadikan apa yang Engkau berikan pada kami baik itu kebaikan maupun keburukan, baik itu kesenangan maupun kesusahan, jadikan semua itu sebagai alat kami untuk beribadah kami kepada Engkau. Semoga dengan semua yang Engkau berikan itu menjadikan kami lebih takut kepadaMu,lebih taat kepadaMu, lebih bersyukur kepadaMu, lebih bersabar terhadapMu,dan lebih banyak mengingat kepadaMu lebih dari kami mengingat barang-barang,harta benda dan harsat duniawi kami. Amin.

09 Maret 2011

It's me, Cenil

Cenil adalah nama yang diberikan teman-teman untukku. Cenil yang sesungguhnya adalah sebuah panganan tradisional Jawa berasal dari tepung sagu, berbentuk lonjong dengan ukuran kecil, mungil, kemudian diberi warna merah, hijau, putih dan ditaburi kelapa parut dan gula pasir di atasnya. Mau coba, silahkan. Sekali makan pasti ketagihan.