Rasanya tidak mungkin Ana menyampaikan hal itu pada Saskia. Ia masih terlalu kecil. Baru tujuh tahun. Beberapa tahun lagi atau ketika ia menginjak bangku SMU, mungkin di seusia itu ia sudah kuat menerima kenyataan bahwa dia ternyata hanyalah anak angkat. Tapi telpon dari Rima, teman sekolahnya, juga ibu kandung Saskia menyadarkannya bahwa ia harus mengembalikan gadis kesayangannya itu kepada orang yang telah melahirkannya.
Memang tidak ada perjanjian apapun antara dia dan Rima, berkaitan dengan Saskia. Waktu Rima dan suaminya yang hampir bersamaan kena PHK, Ana membawa anak terkecil mereka untuk dirawatnya. Bocah tiga tahun itu begitu penurut dan tak pernah rewel selama dalam asuhan Ana dan suaminya. Dan selama tiga tahun ini ia mengenal Ana dan Budi sebagai orang tuanya, meski di luar sana ada orang lain yang mesti ia panggil pula dengan sebutan ibu dan bapak.
"Aku tidak akan mengakui dia sebagai anakku. Suatu ketika aku pasti akan memberitahu bahwa kamulah ibu kandungnya. Aku hanya meminjamnya untuk menemaniku selama mas Budi dinas ke luar kota. Dan tentu saja aku akan merawatnya selama ia bersamaku. Kalau suatu saat kamu mau mengambilnya, ambil saja. Atau aku akan mengantarnya ke rumahmu," kata Ana waktu itu.
Rima tidak keberatan sama sekali Saskia dibawa orang lain. Apa lagi oleh Ana. Ana adalah teman baiknya, bahkan sahabat dekatnya. Ia bahkan waktu itu berpikir mungkin lebih baik kalau Saskia bersama orang lain, asalkan dia bisa sekolah dan punya masa depan. Begitu PHK, susah sekali mencari pekerjaan yang baru. Beberapa kali mencoba usaha, tidak ada yang berhasil. Untuk kmencukupi keperluan sehari-hari, ia mengambil pekerjaan apa saja. membantu kakak menangani pembukuan di toko sembakonya, juga menjadi tukang masak sekaligus menjaga kantin punya orang lain. Suaminya? Sama. Kerja serabuatan. Untuk keperluan sehari-hari tiga anaknya LIna, Dio dan Fara saja sudah terasa makin berat dari hari ke hari.
Demi ingatannya, bahwa suatu saat ia harus mengembalikan Saskia dalam keadaan yang sebaik-baiknya, Ana tidak pernah bersikap keras pada anak itu. Ia bahkan selalu bertutur dengan lemah lembut, dan hanya melotot jika menyadari sikap atau kelakuan Saskia yang sudah keterlaluan. Menjewer, mencubit, apalagi memukul, belum pernah sekalipun ia melakukannya. Ia menyayanginya dengan tulus dan selalu mengajarkan kebaikan serta menunjukkan sikap tanggung jawab dalam segala hal, termasuk urusan dalam hubungannya dengan Tuhan, Sang Penguasa alam dan seisinya.
Kiranya tugas untuk merawat anak itu akan selesai. Oh, tak sanggup Ana membayangkan untuk menyerahkan buah hatinya itu pada orang tua kandungnya. Seperti ketika ia harus menyerahkan rahimnya untuk diangkat oleh dokter bedah akibat tumor rahim yang menjangkitinya. Ya, seperti itulah yang akan di rasakannya nanti. Ia kembali kehilangan dengan sesuatu yang bahkan telah melekat dalam dirinya.
Ana masuk ke kamar bercat pink lembut itu dan mendapati gadis belianya itu tengah diam menekuni pe-ernya. Sejak dulu Saskia selalu tekun belajar. Ia tidak akan melakukan hal apapun sebelum selesai mengerjakan tugas dari sekolah. Dan nilai-niali rapotnya memang selalu membanggakan.
Namun sebentar kemudian Ana kembali keluar kamar. Ia tak mungkin mengganggunya dengan cerita yang akan disampaikannya. Ia juga tak sanggup mengatakannya. Di ruang tengah ia duduk di bangku sofa, menjejeri suaminya yang terbungkam sejak pulang dari kantor sore tadi. Dalam beberapa menit, keduanya diam dalam kebisuan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kita ambil anak dari Panti Asuhan. Yang jelas-jelas nggak punya orang tua," suara Budi terdengar setengah menggumam.
Ana mengiyakan tanpa mengangguk, tanpa membuka mulut. Dengan lelah ia merebahkan kepalanya ke bahu suaminya. Ia tidak tahu apa bisa ia menyayangi anak lain seperti ia menyayangi Saskia. Meski ia sadar, ada Saskia atau tidak, kehidupan akan terus berjalan. Tidak akan pernah terhenti walau satu detik pun.
"Yaa, kita ambil anak yatim piatu," Budi mengulang kalimatnya sambil mengangguk-angguk. "Asal kita ikhlas merawat dan mendidik, insya Allah akan jadi pahala untuk bekal kita di akherat," Ia merangkul istrinya dan memberinya ciuman mesra di rambutnya.
Tiba-tiba saja Saskia sudah berada di ruangan itu. "Iihhh, papa sama mama ini pacaran terus, deh," cetusnya.
"Hei, Sayang, siapa yang pacaran sih?" kilah Budi sambil mengulurkan tangannya, meraih tangan mungil itu untuk dibawa ke dalam dekapannya. Ana menggeser pantatnya untuk memberi tempat Saskia yang memaksa menyelip di antara dia dan suaminya. Kalau sudah seperti itu, suasana ruangan tengah itu akan hangat oleh ocehan, cetusan, serta teriakan manja khas anak-anak seusia Saskia.
"Ma, aku besok pagi mau rambutku dikepang dua ya?" pintanya.
"Iya, Sayang," angguk Ana mengiyakan.
"Ihh, apa rambutmu masih kutuan, Saskia? Wah, papa pasti ketularan, nih," cetus Budi menggodanya sambil berusaha menjauhkan diri darinya.
"Apaan Papa, sih? Orang sudah nggak ada kutunya. Kemarin Mama sudah membawaku ke salon. Terus rambutku sudah dikramasin dan diobatin." sahutnya cepat.
"Makanya jangan main sama anak yang rambutnya kutuan!" Dengan gemas Budi mencubit hidungnya.
"Iya, gara-gara si Emi rambutnya kutuan. Aku jadi ketularan."
Pada Jum'at sore, sambil menyisir rambut Saskia yang sudah memanjang hingga ke bahu, akhirnya Ana membeberkan rahasianya. Hari Sabtu atau Minggunya, Ana sudah berjanji pada Rima akan mengantar Saskia ke rumahnya. Wajah polos itu terlihat bingung. Perlahan dan dengan sangat hati-hati Ana menjelaskan duduk persoalannya.Bahasa yang digunakannya juga yang sekiranya mudah sekali dicerna dan dipahami anak seusia Saskia. Namun begitu tetap saja Saskia bingung. Entah apa yang terlintas dipikiran kanak-kanaknya mengetahui kenyataan yang lain dari yang telah diterimanya selama ini.
Ia terdiam begitu menyadari sesuatu. Matanya yang biasa ceria itu luruh, dan nampak murung.Jelas ia masih bingung. Ana ingin segera meraihnya, namun anak ia menolak dan menjauh duduknya dari dirinya. Tak berapa lama, ia pamit mau ke kamar.
Meski merasakan sedikit rasa lega, namun Ana merasakan jauh ada yang hilang dalam dirinya. Ya, ia akan segera kehilangan anak kesayangannya. Meski bukan lahir dari rahimnya, ia bersumpah demi Allah, ia sungguh sayang pada anak itu, dan berjanji akan mendidiknya dengan sebaik-baiknya. Tapi apa boleh buat. Anak itu harus kembali ke tempat asalnya. Berada dekat dengan orang tua dan saudara-saudara kandungnya dalam sehari atau dua hari ini.
@@@
Sepertinya masih tengah malam. Entah jam berapa. Baru beberapa saat Ana memejamkan mata ketika mendengar handphone-nya meraung-raung di telinganya. Ia meraba-raba sekitar bantalnya masih dengan mata terpejam. Ketika akhirnya tangannya menemukan benda kecil mungil di bawah bantal, ia mengangkat di atas wajahnya, memeriksa layar benda itu dengan mata mengerjap-ngerjap melawan kantuk.
"Sasi?" Ia sontak kaget dan terjaga.Matanya terbuka lebar dan kantuknya lenyap seketika. Reflek ia memencet salah satu tombol handphone agar bisa terhubung dengan si penelpon.
"Mama, aku mau pulang saja," sahut dari seberang.
"Kenapa, Sayang?"
"Aku mau pulang," dan isak tangisnyapun menderu.
"Sasi..."
"Jemput aku, Ma. Aku kangen sama mama. Aku mau pulang ke rumah mama saja."
Ana tidak bergeming. Bahkan ketika hari berikutnya, dan hari berikutnya kembali Saskia menelpon. Apa kata Rima jika ia datang menjemput Sasi? Oh, tidak. Ia menggeleng-geleng. Ia mengingat keadaan Rima dan suaminya yang kini sudah mulai lancar usaha toko sembakonya. Dan itu yang membuat ia tak mau mengusik keberadaan Saskia di rumahnya. Rumah orang tua kandungnya.
Seseorang mengetuk pintu rumah ketika Ana dan suaminya hendak pergi ke sebuah panti asuhan. Ana membuka pintu dan kaget mendapati sosok di hadapannya. Saskia. Dan berdiri di sebelahnya, Rima, ibunya. Belum habis ketertegunannya ketika melihat gadis kecil itu bergegas menghampirinya. Tangan mungilnya meraih jemarinya, dan menciumnya.
"Mama, aku pulang. Lihat, siapa yang mengantarku kemari!" ucapnya sambil berdiri di sisinya.
"Hei, Rim! Masuk, yuk!" ucapnya pula begitu tersadar.
Rima hanya mengangguk, sembari tersenyum. "Kebetulan aku masih ada perlu. Aku...aku titip Saskia. Kalau kamu tidak kebaratan, biar dia tinggal di sini bersama kalian."
"Iya. Aku akan senang sekali. Aku dan mas Budi akan selalu menjaganya."
"Oke, kalau begitu aku pergi dulu. Sasi, baik-baik kamu di sini, ya? Ingat, jangan nyusahin mama Ana,oke?"
"Ya."
Ana menutup pintu dan mengajak Saskia masuk ke dalam rumah.
@@@@