25 April 2011

HARAP


Subhanallah walhamdulillah, akhirnya aku mendapat tempat untuk berjualan. Namanya pak Akri, orang itulah yang telah berjasa memberikan aku tempat untuk berdagang di arena pasar malam yang berlokasi di Kemayoran. Setelah berjuang selama dua minggu akhirnya aku bisa juga membantu suami nantinya untuk menambah penghasilan. Anakku empat. Semuanya perempuan. Yang pertama kelas lima, yang kedua kelas satu dan yang ketiga dan keempat kembar, umurnya hampir empat tahun. Bagaimana aku bisa berdiam diri melihat suami pontang panting cari duit sendirian, ( dengan mengojek, jadi tukang parkir di sebuah mini market) sementara biaya anak-anak yang terasa menyesakkan dada setiap harinya. Yang uang sekolah, buku, seragam, belum jajan mereka setiap harinya.

Oh, ya Allah, hanya kepadaMU aku berharap. Hanya kepadaMU aku mohon petunjuk. Apa yang sekiranya bisa kulakukan untuk membantu suamiku, untuk sekedar meringankan bebannya. Juga untuk anak-anakku, dalam waktu dekat ini maupun dalam hari-hari panjang ke depan? Beberapa kali aku ikut membantu tetangga berjualan di pasar, aku sering kepikiran untuk bisa berdagang pula seperti tetanggaku itu. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana memulainya? Aduh, pakai duit. Mau dapat duit dari mana? Modalnya bisa sekitar lima ratus ribu atau satu juta saja. Yach, satu juta, uang dari mana? Ya Allah, bukankah Engkau Maha Kaya? Bisakah Engkau pinjamkan aku uang satu juta atau lima ratus ribu saja. Nanti kalau usahaku sudah jalan, aku akan menggantinya. Karena untuk mencari pinjaman ke tetangga sudah susah sekali. Ada beberapa pinjaman yang belum mampu kubayar, mosok aku sudah mau minjam lagi? Iya, kalau nanti usahaku langsung jalan. Kalau tidak? atau misalnya agak lama berjalannya? Ohh, pinjami aku uang ya Allah untuk modal jualan.

Selintas terpikir dalam benakku akan menjual motor saja. Tapi bu Sri, tetangga yang sering aku ikut dia membantu berjualan di pasar atau dalam sebuah bazar-bazar mnegatakan suatu ketika. "Kamu jangan menjual motormu. Sayang. Kalau nanti kamu jadi jualan, motor itu buat kakimu. Jualan ke sana sini kalau pakai motor sendiri kan lumayan? Paling modal bensin seliter dua liter. Dari pada kamu naik bajaj atau ojek, kan keluar ongkos? Iya kalau jualan laku. Kalau enggak?"

Benar juga kata bu Sri. Aku berpikir panjang jadinya. Katanya mendingan cari pinjaman ke bank dengan jaminan BPKB motor. Hari-hariku mulai bersinar dengan rencana yang sudah nampak di depan mata. Mungkin dari situlah Allah akan memberikan pinjaman uang padaku untuk modal jualan.

Tapi halangan datang lagi begitu aku dan suamiku datang ke sebuah bank. ternyata saratnya berbelit-belit. Salah satu syarat yang tak bisa aku penuhi adalah aku harus punya usaha yang berjalan sekurang-kurangnya tiga bulan lamanya. Waduh, macet lagi. Suram. Gelap bahkan pandanganku. Mana mungkin? Justru aku mengajukan pinjaman untuk memulai usaha!

"Coba kamu ambil barang dari orang lain. Kamu pinjam sehari-dua hari untuk jualan. Kalau mau bawa saja barang-barang punyaku. Nanti aku beri harga khusus. Syukur kamu bisa ngejual lebih dari aku. Kan, lumayan untungnya. kamu nggak perlu khawatir barang nggak laku. Toh,kamu bisa kembalikan lagi?"

Oke, aku langsung mengiyakan. Sampai di sini timbul pertanyaan. Lalu aku berjualan di mana? Siang malam sehabis sholat, tak habis-habisnya aku minta pertolongan Allah agar diberikan tempat yang bagus untuk berjualan. Menurut cerita yang kudengar di kemayoran tempat yang bagus untuk jualan. Tapi susah sekali mendapat tempat dan bayarnya mahal. Tapi tidak ada yang mustahil jika Allah memang menghendaki. Begitu aku menyemangati diriku sendiri.

Bersama suami aku ke tempat lokasi pasar malam yang menampung seratusan pedagang kaki lima di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Kami bertemu dengan salah seorang pengelolanya dan memberi uang panjer agar bisa segera di beri tempat. Katanya hari Jum'at suruh datang. Begitu datang, ternyata tempat full. Tak ada sela sedikitpun. Aku bersabar menunggu Jum'at depan. Jum'at berikutnya aku datang, suamiku memberikan kembali uang panjeran yang lebih gede. Katanya bisa langsung masuk hari Senin besok.

Hampir putus asa aku menunggu waktu. Dan pengelola di tempat jualan itu kembali menjanjikan kembali untuk hari Jum,at. Oh ya Allah. Sabarkan hatiku. Sehari Sebelumnya pak Akri, salah seorang pengelola pasar Kemayoran menelpon suamiku katanya tempat sudah ada. Aku ke bu Sri untuk meminjam barang dagangan berupa jilbab dengan aneka model dan warna. Aku boleh membawa sebanyak yang kusuka dan mencatat harga-harganya. Karena beberapa kali aku ikut membantu berjualan, sedikit banyak aku hapal harga-harga jilbab itu.

Dan hari yang kutunggu tiba. Aku diantar suamiku ke tempat lokasi berjualan yang sore itu panas matahari teras masih menyengat hingga ke ubun-ubun. Tidak ada pepohonan di sekitarku. Tapi aku bertahan. Aku pantang mengeluh, apalagi mengingat banyaknya langganan yang bakal mengitariku seperti yang kulihat ketika bu Sri ketika berjualan.

Sejam kemudian dagangan telah siap di atas meja triplek. Belum ada yang melirik. Tenang. Mungkin beberapa jam lagi akan datang pelanggan baruku. Matahari kurasakan mulai luruh ke arah barat. Sejuk, tapi kok agak dingin. UNtung aku sudah sholat asar tadi.Entah bagaimana caranya aku sholat magrib nanti. Ada masjid besar, mungkin aku akan bergantian dengan suamiku untuk sholat. Entahlah, aku terlintas bayangan anak-anak di rumah bersama ibuku. Betapa ributnya mereka ketika mendapati aku tak ada di rumah. Bagaimana makan mereka, sholat mereka dan ngaji mereka. Tentu saja diliburkan hari ini. Karena guru mereka yaitu ayah mereka sedang menunggui ibunya berjualan.

Maaf ya Allah, bisakah aku mengganti amalanku untuk sholat di rumah berjama'ah bersama suami dan anak-anakku dengan amalan yang lainnya? Hanya tiga hari dalam seminggu. Selebihnya akan berjalan seperti biasa. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, aku berjanji akan melakukan tugasku di rumah sebagimana mestinya. Toh, suamiku mengijinkan aku melakukan hal seperti ini. Lagi pula aku tidak meninggalkan sholet sekalipun. Aku hanya sholat maghrib sendiri, tidak berjam'ah. Begitu pula suamiku. Karena kami harus bergantian menunggu dagangan.

Ternyata redup yang menaungiku berubah menjadi awan gelap yang menakutkan. Meski sudah lewat maghrib, namun hitamnya langit yang tak menampakkan bintang secuilpun membuat gundah hatiku.Jangan-jangan akan hujan seperti hari- hari kemarin.Batinku. Dan belum juga berhenti hatiku berguman. Setitik air dari langit mengirim pesan dan seakan menegaskan tentang kekhawatiranku. Aku masih berharap titik air yang jatuh kepadaku hanya embun yang ditiupkan angin ke arahku. Namun gerimis yang turun satu satu semakin menambah risau hatiku. Kiranya memang bukan kiriman embun yang terbawa angin. bahkan angin kencang menghembus marah ke arah jalanan yang dipenuhi pengunjung maupun pedagang kaki lima di sekitar situ.

Dan selang beberapa menit sebelum aku selasai membenahi barang-barangku, guyuran hujan bercampur angin datang menimpaku. Kutinggal mejaku menuju ke tempat berteduh seperti orang-orang lainnya. Untung tadi sudah laku dua buah. Minimal aku sudah membuka penglaris. Mudah-mudahan hujan segera reda. Dan aku segera bisa membuka daganganku kembali. Namun harapanku tinggallah harapan. Hujan makan deras mendera tiap benda yang ada di tempat yang tak terlindungi. Badanku mulai basah kena tampias air hujan. Dan angin yang datang begitu menghujam hingga ke tulang belakangku. Aku bertahan dan terus bertahan.

Dalam keadaan dingin, perih di lambung karena belum makan dan juga kengerian menghadapi hujan dan angin serta geledek, aku mundur dalam banyak langkah. Aku tidak mampu melakukan apapun. Aku sakit. Limbung dan jatuh terkulai di tempat tidur pada keesokan harinya.

"Gimana apa kamu hari ini mau jualan?" tanya suamiku.

"Apa kamu mengijinkan aku berjualan lagi?" tanyaku berbalik dengan nada lemah dan mengharap jawaban iya darinya.

"Aku sedih melihat kamu sakit begitu," sahutnya.

"Aku nggak apa-apa. Aku mau istirahan sahari ini. Nanti juga akan baik. Besok aku mau jualan lagi. Itu juga kalau kamu mengijinkan."

"Kita akan cari tempat agar bisa berjualan pagi-pagi, seperti bu Sri. Kalau malam hari, resiko."

"Iya, nanti. Masalahnya kita sudah bayar ke pak Akri untuk berjualan tiga hari ini. Sayang kalau uangnya hangus. Sambil mencari tempat lain, biarkan aku jualan besok!" pintaku.

Suamiku mengangguk tanpa terlihat anggukannya. 'Ya udah, aku mau ngojeg dulu. Sudah siang,"

Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar. Ya Allah, jaga suamiku. Lindungi dia hal-hal yang mencelakainya. sehatkan badannya agar dia tetap bisa mencari nafkah. Badanku kenapa lemah sekali. Entah sudah berapa kali aku buang-buang air. Begitu keluar dari WC, aku kembali nggelosot di atas kasur. Untung ada ibuku yang mau merawat anak-anakku sementara aku sakit.

Oh,ya Allah. Kasihanilah aku. Kasihanilah suamiku. Kasihanilah anak-anakku. Kasihanilah kami semua. Aku selalu memikirkan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka kelak. Akankah mereka sesusah orang tuanya? Perlahan kuusap mataku. Aku kembali bangkit dari tempat tidur ketika perutku mulai terasa mulas kembali.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar