30 Oktober 2011

Hebatnya PKL

Sebuah papan bertuliskan “DILARANG BERJUALAN DI TAMAN DAN BADAN JALAN DI SEPANJANG JALAN INI”. Namun anehnya, di sekitar tempat itu banyak sekali orang berjualan. Namanya juga PKL. Tidak akan mempan kalau hanya diberi peringatan berupa tulisan yang diberi tiang dan ditancapkan di sekitar lokasi larangan orang berjualan. Harus ada petugas keamanan atau satpol PP yang dikerahkan, baru mereka akan mengosongkan tempat itu dan pindah berjualan ke tempat lain.

Apa yang terpikir oleh kita tentang seorang pedagang kaki lima yang suatu ketika nampak dalam berita TV sering terlihat menjadi sasaran gusuran oleh aparat keamanan? Apa mereka hidup susah? Apa mereka dalam keadaan kekurangan? Miskin? Dan tak berpendidikan?

Sepanjang jalan sekitar arena pacuan kuda Pulomas, jakarta Timur, tiap hari Minggu sudah dipenuhi pedagang kaki lima sejak pukul empat pagi. Mereka datang dari berbagai tempat. Ada yang dengan sepeda motor, Bajaj, taksi, mobil butut, namun yang mencengangkan, tidak sedikit dari mereka berjualan dengan mengendarai mobil mewah dan kinclong. Apa yang mereka jual? Buanyak. Seribu satu macam barang dagangan ada di sana.

Saya kenal seorang PKL yang sekaligus merupakan staf karyawan sebuah kantor Walikota. Ia tahu benar peraturan tentang larangan berjualan di sepanjang jalan karena berakibat terganggunya arus lalu lintas dan juga mengganggu kenyamanan bagi penduduk setempat. Namun ia hanya nyengir ketika diungkap masalah itu. “Habis gimana? Hasil jualan tiap minggu itu buat mbayar angsuran Avanza-ku,” sahutnya pasrah.

Seorang ibu yang merupakan single parents bagi dua putrinya hanya seseorang yang hanya sempat bersekolah hingga SMP. Namun siapa sangka dari jerih payahnya menjadi pedagang kaki lima, ia mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Satu diantaranya sudah lulus sarjana. Dan seorang lagi
baru akan mulai skripsi.

 Ada seorang temen saya yang juga seorang PKL. Dia datang ke tempat dia jualan di sebuah Bazar yang diadakan di sebuah rumah sakit di Jakarta dengan dandanan dan penampilan yang lain dari biasanya. Cantik dan modis. Setelah ditanya, dia mengatakan habis menghadiri wisuda anaknya. Bayangin, anaknya lulus fakultas kedoktean UI.

Satu lagi, saya bertemu dengan bapak-bapak yang menjual baju atasan cewek seharga lima belas ribuan di sebuah pasar tradisional di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Entah barang bekas atau bukan. Saya nggak tega menanyakannya. Dagangannya tidak banyak. Hanya sekitar dua atau tiga lusianan. “Mudah-mudahan anak saya tidak susah kayak saya hidupnya,” katanya. Ia lalu mengatakan bahwa saat ini anaknya kuliah di IKIP.

Apa anda yang berminat menjadi PKL? Tidak perlu gengsi. Apalagi kalau lihat omset yang didapat. Yah, lumayan. Bisa buat ngredit mobil Avanza atau buat nguliahin anak.***

29 Oktober 2011

Gosip abu-abu


Benar-benar gosip yang menggelikan. Batin Davina. Dia dan Arik pacaran?  Kepalanya tergeleng beberapa kali. Ia bahkan tertawa sendiri seperti orang sinting. Arik tak beda dengan teman-teman cowoknya yang lain. Kalaupun ia lebih dekat dan sering bareng kemana-mana, semata-mata karena kebetulan ia dan Arik sekelas dan sama-sama aktif ikut pecinta alam. Mosok iya, dari sekretariat ke kelas, atau dari kelas ke sekretariat mau jalan sendiri-sendiri? Nggak mungkin lah! Anak-anak saja yang iseng menjodoh-njodohkan dirinya sama Arik. Si Sabrina, sama pasangan gilanya si Alba. Dari merekalah sesungguhnya gosip itu bermuasal. Bagaikan sebuah asap, gosip itu ditiupkan ke segala  penjuru  kampus. Hingga mulai dari sekretariat, ruang kelas, bahkan di kantin. Semua orang membicarakannya. Sesekali ketika nampak ia dan Arik tengah melintas di suatu tempat, sebuah gerombolan mahasiswa yang tengah menunggu jam kuliah di depan kelas atau di dekat taman, sontak akan menepi memberi jalan untuk dia dan Arik. Tak luput dari mata Davina, mereka terlihat berbisik-bisik satu dengan dengan yang lain sambil menunjuk-nunjuk arah dirinya dengan isyarat ekor mata mereka. Hmmm..... Ia kembali tergeleng. Mengeluh panjang. Lalu bersikap masa bodoh.

Entah dengan Arik sendiri. Mustahil ia belum mendengar gosip itu. Tapi kenapa ia tenang-tenang saja? Setenang air danau yang tidak beriak sedikitpun oleh hembusan gosip yang menerpanya. Nggak mungkin Davina akan mengusiknya dengan menanyakan tentang gosip murahan itu kepadanya. Mungkin Arik sama kayak dirinya. Nggak menganggap segala sesuatu harus ditanggapi dengan serius. Santai saja. Arik toh nggak mungkin naksir dirinya. Sama dengan dirinya yang nggak mungkin suka sama Arik.

Kuliah dimulai jam setengah tujuh theng! Pak Djati, dosen paling angker di seantero kampus nggak akan toleran terhadap mahasiswa yang telat meski dengan alasan apapun. Makanya meski dengan terkantuk-kantuk, ia dan pasti banyak mahasiswa lain di kelasnya berusaha datang tepat waktu. Ia melihat Arik menguap lebar ketika masuk kelas tadi dengan mata yang masih enggan terjaga. Sangat tidak bersemangat.

Di kantin, usai kuliah, nampak mereka duduk berhadapan dengan masing-masing menghadapi segelas kopi hitam yang mengepul di atas meja. Davina meniup-niup kapi panasnya. Nggak sabar rasanya ingin segera menyeruput minuman sewarna comberan itu.  Wajahnya cantik. Dan selalu cantik dalam keadaan apapun. Bahkan ketika berada dibawah terik matahari dengan kulit wajah mulus itu berleleran keringatpun, tetap terlihat cantik. Juga saat berlepotan lumpur waktu pelantikan anggota pecinta alam dulu. Hitamnya lumpur tidak menghapus sedikitpun garis kecantikannya.
  
"Rik," panggil cewek itu tiba-tiba.

Arik tercekat. Nampak gugup, tapi agak rileks setelah menghirup sedikit minumannya.

"Kamu dengar gosip itu kan?" tanyanya tanpa tahan lagi.

"Gosip? Oh, gosip?"

"Iya. Gosip yang mengatakan bahwa kita pacaran?" lanjutnya sambil berusaha menatap.

Arikpun tersenyum. Lalu menggaruk-garuk kepalanya. Oh, lega sekali Davin begitu melihat reaksi itu. Tentu saja. Arik pasti menganggap dia adalah teman. Nggak lebih. Banyak cewek yang mengejar-ngejarnya selama ini. Di antaranya si peragawati  kampus yang cantik dan seksi itu. Juga anak ekonomi, si Reni. Dan ada lagi  Eva,  Tina, Risty. Kenapa harus dirinya?  Yang pasti ia lega setelah mengetahui reaksi lewat senyumannya itu.

"Ah, kamu kayak nggak tahu anak-anak saja," komentarnya makin membuat hatinya kian ringan tanpa beban.

"Iya. Aku tahu. Memang mereka suka mbikin gosip yang enggak-enggak."

"Kenapa, Vin? Kamu terganggu dengan gosip itu, ya?"

"Aku pikir justru kamu yang terganggu."

“Terganggu apa? Ah, aku biasa-biasa saja."

"Nanti cewek-cewek yang naksir kamu pada patah hati gara-gara gosip ngawur itu.”

“Cewek-cewek yang naksir aku? Siapa? Pacarmu mungkin yang marah.” Ia sempat berkilah dan membalikkan pertanyaannya.

Mata bundarnya melotot lucu.  Sementara bibirnya yang kemerahan mencibir, sebagai  reaksi antara geram dan sebal. Arik sambil hanya tersenyum simpul sengaja meledeknya. Ia masih ingat Davina  pernah bilang nggak punya pacar.

"Kamu benar nggak punya pacar, Vin?" tanyanya masih ingin meyakinkan. Davina menegaskan dengan gelengan. "Vin,"  Arik menatapnya dengan serius kini. Agak lama, begitu dalam dan mengandung sebuah pengharapan. 

 "Apa?" ia balas menatapnya, menunggu kalimatnya.

"Nggak. Nggak jadi. Lupakan saja," entah kenapa ia mengurungkan ucapannya. Kepalanya tergeleng beberapa kali.

“Kamu ini kenapa sih?!”

Cowok itu tetap bertahan dengan gelengannya.

Gadis dengan wajah polos dan kekanakan itu sesungguhnya tidak seperti yang tampak oleh kebanyakan orang. Arik mengenalnya lebih dekat dalam sebulan ini dan banyak kali dalam suatu perjalanan sebuah pendakian ke puncak gunung. Ia begitu keras dan sedikitpun tidak lembek. Ia tak pernah mengeluh atau bersikap cengeng seperti kebanyakan cewek.  Ia tidak gampang  kelelahan meski telah berjalan berpuluh kilo. Ia tidak memekik kepanasan ketika berada dibawah terik matahari. Atau ia hampir nggak pernah terdengar mengeluh kesakitan meski jatuh dan luka di bagian lengan atau kakinya.  Entahlah, dalam banyak hal, Arik merasa begitu ingin bergantung dan terikat dengan seseorang yang  teguh dan kuat bagaikan batu karang itu. 

Meski hatinya telah terpaut oleh pesonanya, namun ia tak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Entah sampai kapan ia akan memendam perasaan itu. Gosip yang beredar di kalangan anak-anak sekretariat itu sungguh bukan sesuatu yang begitu saja meletup di permukaan. Ia mengakui perasaannya itu di hadapan Alba, Rudi dan Adi. Dan suatu waktu ia ikut arus anak-anak menikmati minuman memabukkan. Dan di tengah mabuknya, ia berkicau dan mengoceh tentang gadis cantik bernama Davina itu. ***

28 Oktober 2011

Tidak sadarkah kita bahwa Allah selalu menagih janji kita?

Beberapa hari ini aku selalu terbangun sekitar jam tiga pagi. Selalu pada sekitar jam-jam tiga buta. Biasanya aku ke kamar mandi.  Pipis, lalu balik lagi ke tempat tidur. Tersirat keinginan untuk melakukan sholat malam. Namun sudah terlanjur menempel di atas kasur, enggan rasanya untuk bangkit lagi. Seribu satu alasan dibisikkan setan ditelingaku untuk tetap pada posisi dibawah selimut,  kembali meneruskan tidur dengan nyaman. Besok saja sholatnya, bisikan setan membius telinga hatiku. Sholat tahujud, lewat. Sholat dluha, lewat pula. dan puasa sunah Senin-Kamis pun juga lewat. Hanya  terucap sebatas niat di hati belaka tanpa ada pelaksanaan nyata.
Suatu ketika perasaan berdosa pun menghinggapiku. Aku takut tiba-tiba Allah marah kepadaku. Meski bukan perbuatan maksiat yang kulakukan, tapi tidak menepati janji pun, mungkin bisa saja nanti Allah akan marah dan tidak memperdulikanku, bahkan menjauhiku.
Aku sengaja tidur agak sore dalam rangka menepati janjiku. Kupasang alarm di handphone pada jam dua dini hari. Sebelum benar-benar terlelap aku berdoa," Ya Allah bangunkan untuk sholat tahajud semat-mata karena aku ingin bersyukur kepadaMu dan ingin menunjukkan bahwa aku mencintaiMu melebihi apapun di dunia ini." Namun ketika alarm itu meraung-raung, aku malah mematikan alarm lalu kembali terbaring. "Sebentar lagi,"  kata hatiku mengikuti bisikan setan yang bertengger di telingaku. Sedetik aku kembali pulas. Sepuluh menit, sesuatu membangunkan kembali kesadaranku. Sebenarnya aku sama sekali nggak ngantuk. Aku juga berniat untuk bangun dan pergi ke mar mandi dan mengambil air wudlu. Tapi masih jam dua lewat sepuluh menit. Setengah jam lagi aku masih bisa melakukannya. Waktu sholat tahajud kan sampai mendekati waktu subuh? Aku kembali terkubur di bawah selimut. Dan pas sepuluh menit kemudian aku kembali terjaga. benar-benar terjaga. Aku duduk di penggir tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi. Seperti ada yang menuntunku, tanganku bergerak membuka kran dan jemariku kutadahkan dibawah kucuran air. Kubasuh wajahku, tanganku, telingaku, ubun-ubunku, tengkuk, juga kakiku. Setela itu aku ke ruang mushola, memakai mukena dan berdiri di atas sajadah siap bersholat.
Ketika mengangkat kedua tangan dan menyeru lirih kalimat takbiratul ihram, "Allaahu akbar!" hatiku bergetar.  Keheningan malam seakan meruntuhkan dinding-dinding hatiku. Dan bacaan iftitah semakin memporak porandakan perasaanku. "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah, penguasa alam semesta," Air mataku berleleran tiada henti mengingat janji itu. Ya, setiap hari paling tidak sebanyak lima kali kita berjanji dihadapan Allah untuk menyerahkan diri kita semata-mata untukNya.
Selesai melakukan salam, aku diam merenung. Aku merasakan kehadiran Allah di hadapanku. Apa dia tersenyum? Apa dia masih marah? Oh, Ya Allah, maafkan aku. maafkan semua kesalahanku. Ampuni semua dosaku. Sudah lama aku melupakanMu, dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa saja membuat Engkau kesal dan mencabut semua nikmat yang telah kau taburkan dalam diriku, dalam kehidupanku. Aku menjadikan sholat hanya sekedar rutinitas, karena aku selalu diburu waktu untuk menyelesaikan pekerjaan duniaku. Dalam sholatku, aku tidak pernah sungguh-sungguh menemuiMu seperti sekarang ini. Maafkan aku ya Allah, ampunilah diriku.

(Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana orang setiap hari melaksanakan sholat, tapi di sisi lain dia juga masih berbuat dosa. Tidak sadarkah kita bahwa Allah selalu menagih janji kita? Janji untuk melakukan segala sesuatu semata-mata karena Allah? Janji dalam sholat kita bahwa, "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata untuk Allah?" Apa mereka mencuri, menipu, korupsi, dan sebagainya itu dilakukannya karena Allah? Bertobatlah, bertobatlah, maka Allah akan menyelamatkan kita). ***